BPRNews.id - Merger yang dilakukan di akhir tahun 2023 membawa angin segar bagi PT BPR Durian Mandiri, yang berhasil mencatatkan lompatan kinerja yang signifikan.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh perusahaan tersebut, Direktur Utama PT BPR Durian Mandiri, Marnis Ahmad, bersama dengan Direktur Irna Novida, mengumumkan pencapaian gemilang yang dicapai pada tahun lalu.
"Alhamdulillah, tahun 2023 menjadi momentum penting bagi PT BPR Durian Mandiri. Kami berhasil mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan dalam berbagai aspek usaha kami," ungkap Marnis Ahmad.
Data keuangan yang dirilis menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Total Asset PT BPR Durian Mandiri mencapai Rp24,6 miliar, menandai peningkatan sebesar 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Realisasi Kredit juga mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan sebesar 76,16 persen, mencapai angka Rp20,4 miliar. Sementara Dana Pihak Ketiga tumbuh sebesar 37,57 persen, mencapai total Rp18,4 miliar. Laba Bersih Usaha juga naik pesat menjadi Rp400 juta, menunjukkan kenaikan sebesar 8,10 persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Marnis Ahmad, keberhasilan ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, kinerja yang konsisten sesuai dengan Rencana Bisnis Bank sepanjang tahun 2023. Kedua, dampak positif dari merger yang dilakukan di akhir tahun, yang memberikan dorongan signifikan pada kinerja perusahaan.
Dari segi aset dan dana, pertumbuhan yang dicatat juga sangat mengesankan. Total Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun selama tahun 2023 mencapai Rp18,4 miliar, dengan tabungan dan deposito keduanya menyumbang pertumbuhan yang signifikan. Realisasi Kredit juga melampaui target yang telah ditetapkan, mencapai Rp20,4 miliar.
Peningkatan kinerja tidak hanya terlihat dari segi pendapatan, namun juga dari sisi kualitas aktiva produktif.
"Merger telah berhasil memperkuat struktur permodalan kami, tercermin dari peningkatan Capital Adequacy Ratio (CAR) hingga mencapai 31,49 pada akhir tahun 2023," tambah Marnis Ahmad.
Sementara itu, kualitas kredit pascamerger juga terjaga dengan baik, dengan rasio Non-Performing Loan (NPL) sebesar 3,30 persen dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sebesar 91,67 persen.
"Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung perjalanan kami. Kami berharap dapat terus mencatatkan pertumbuhan yang positif di tahun 2024," tutup Marnis Ahmad, menandai komitmen perusahaan untuk terus berinovasi dan berkembang di masa mendatang.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan tanggapannya terkait keputusan sejumlah bank, termasuk PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), yang memutuskan untuk memanfaatkan sebagian laba mereka untuk dividen.
Dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) pekan lalu (7/3/2024), Bank Mandiri memutuskan untuk membagikan dividen tunai sebesar Rp33,03 triliun atau 60% dari total laba bersih tahun buku 2023. Sementara itu, BRI memutuskan untuk membagikan dividen sebesar 80% dari laba bersih tahun buku 2023, senilai Rp48,1 triliun.
Menanggapi hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa kebijakan pembagian dividen tersebut sesuai dengan rencana bisnis bank (RBB) dan telah dilakukan pertemuan prudential atas rencana tersebut.
Dia juga menekankan bahwa tidak ada pembagian dividen yang terlalu besar, bahkan ada bank yang menurunkan rasio dividen, menunjukkan kekhawatiran pemegang saham terkait kesehatan bank.
Salah satu bank yang menurunkan rasio dividen tahun ini adalah BRI. Pada tahun sebelumnya, rasio pembayaran dividen BRI mencapai 85%, sementara tahun ini RUPST BRI memutuskan untuk menetapkan rasio pembayaran dividen sebesar 80%.
OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum yang mengatur mengenai pembagian dividen emiten perbankan. Pasal 108 dalam POJK tersebut menjelaskan kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dividen yang dikomunikasikan kepada pemegang saham, serta berbagai pertimbangan dan mekanisme terkait pembagian dividen.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa dua perusahaan asuransi saat ini sedang menjalani proses pemisahan unit usaha syariah (UUS) atau spin-off.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa pemisahan unit usaha syariah dilakukan dengan cara mengalihkan portofolio unit syariah.
“Saat ini terdapat dua perusahaan asuransi sedang dalam proses spin-off dengan cara mengalihkan seluruh portofolio unit syariahnya kepada perusahaan asuransi syariah,” ujar Ogi dalam jawaban tertulis pada Selasa (12/3/2024).
Pemisahan unit usaha syariah tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pengaturan Sektor Keuangan (UU PPSK), yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pemisahan Unit Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Ogi menegaskan bahwa POJK 11/2023 menetapkan bahwa perusahaan asuransi atau reasuransi wajib melakukan pemisahan unit syariah paling lambat pada tanggal 31 Desember 2026. Skema pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan pendirian perusahaan asuransi atau reasuransi syariah baru atau dengan mengalihkan portofolio unit syariah kepada perusahaan asuransi atau reasuransi syariah yang sudah ada.
“Dengan demikian, apabila skala bisnis perusahaan asuransi atau reasuransi syariah masih kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk mendirikan perusahaan baru, maka perusahaan tersebut dapat mengalihkan portofolio unit syariah kepada perusahaan lain,” jelasnya.
OJK meminta perusahaan asuransi atau reasuransi yang memiliki unit syariah untuk menyampaikan perubahan rencana kerja pemisahan unit syariah (RKPUS) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2023. Berdasarkan perubahan RKPUS tersebut, OJK saat ini tengah melakukan analisis dan diskusi dengan perusahaan asuransi atau reasuransi terkait isi perubahan tersebut.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan pertumbuhan asuransi yang terkait dengan investasi, dikenal dengan nama Paydi atau unitlink, akan mencapai sekitar 5% pada tahun ini. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, yang menyebut proyeksi tersebut sejalan dengan pertumbuhan total premi asuransi jiwa, yang juga diperkirakan sekitar 5% pada tahun ini.
Menurut Ogi, pertumbuhan ini diprediksi mengingat sumber terbesar premi asuransi jiwa masih berasal dari premi unitlink, yang mencapai sekitar 34% dari total premi asuransi jiwa.
"Pertumbuhan ini juga sejalan dengan pertumbuhan total premi asuransi jiwa, yang diperkirakan sekitar 5% pada tahun ini," kata Ogi dalam pernyataan tertulis, Kamis (7/3).
Meskipun demikian, Ogi menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2023, premi atas produk Paydi atau unitlink mengalami penurunan, sementara premi atas produk tradisional tumbuh sebesar 9,5% Year on Year (YoY) pada periode yang sama.
"Kami memperkirakan pencapaian itu sudah menyentuh bottom untuk asuransi jiwa, khususnya unitlink atau Paydi," tambah Ogi dalam konferensi pers Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024 di Jakarta.
Data menunjukkan bahwa premi asuransi jiwa pada Januari 2024 mencapai Rp 17,34 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 8,24% secara Year on Year (YoY), menandakan adanya tren positif setelah penurunan pada tahun sebelumnya.
BPRNews.id - Kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 yang akan berakhir pada bulan ini, Maret 2024, menjadi sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diproyeksikan akan menjadi tantangan bagi bank dalam mengelola risiko kredit pada kuartal pertama tahun ini. Berdasarkan Survei Orientasi Bisnis Perbankan (SBPO), mayoritas responden percaya bahwa risiko perbankan pada kuartal pertama tahun ini masih terjaga dan terkendali.
Menurut OJK, Indeks Persepsi Risiko (IPR) sebesar 53 berada di zona optimis, meskipun sedikit menurun dari 58 pada kuartal sebelumnya. OJK menilai bahwa kualitas kredit diproyeksikan terjaga dengan baik, didukung oleh kebijakan restrukturisasi dan hapus buku untuk menekan peningkatan kredit macet non performing loan (NPL).
Meski demikian, OJK menyatakan bahwa masih ada potensi peningkatan NPL yang berasal dari pemburukan kredit restrukturisasi kolom 1 dan kolom 2 seiring berakhirnya kebijakan restrukturisasi secara keseluruhan pada Maret 2024. Data OJK mencatat peningkatan rasio NPL menjadi 2,35% pada Januari 2024 dari 2,19% pada bulan sebelumnya.
OJK akan terus memonitor kondisi usaha debitur melalui early warning indicator dan melakukan akselerasi perbaikan kualitas kredit bagi kredit yang masih memiliki potensi perbaikan. Kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 awalnya direncanakan berakhir pada Maret 2023, namun telah diperpanjang hingga Maret 2024 untuk tiga segmen dan wilayah tertentu saja.
Tiga segmen yang mendapat perpanjangan restrukturisasi adalah UMKM, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar. Bank seperti BRI dan BNI telah melakukan antisipasi atas berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 dengan mempersiapkan pencadangan yang memadai dan terus melakukan pengkajian secara berkala terhadap dampak dari pencabutan kebijakan tersebut.