Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mendorong penerapan Governance Risk and Compliance (GRC) atau Tata Kelola Risiko dan Kepatuhan yang terintegrasi bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Sumatera Utara, guna menghadapi tantangan di industri perbankan.
Menurut Kepala Kantor Persiapan Penyelenggaraan Restrukturisasi Perbankan dan Hubungan Lembaga LPS, Hermawan Setyo Wibowo, penerapan GRC diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam menjaga keberlangsungan proses bisnis yang sehat.
"GRC didefinisikan sebagai sebuah kerangka kerja yang membantu organisasi dalam mengelola risiko, memastikan kepatuhan, dan menerapkan tata kelola yang baik," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan mengintegrasikan praktik GRC dengan sasaran bisnis, BPR/BPRS dapat meningkatkan daya saing, efisiensi, efektivitas, mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, serta menciptakan nilai bagi pemangku kepentingan.
Pentingnya peran BPR/BPRS dalam mengembangkan perekonomian terbukti dengan adanya perluasan fungsi melalui UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang merubah singkatan BPR dari Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat.
Untuk mengedukasi BPR/BPRS di Sumatera Utara tentang penerapan GRC, LPS bekerja sama dengan Perhimpunan Bank Perekonomian Indonesia (Perbarindo) menggelar seminar "Practice Sharing Penerapan GRC" sebagai bagian dari rangkaian acara pembukaan Kantor Perwakilan LPS I di Medan.
Seminar tersebut merupakan bentuk kepedulian dan peran aktif LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya dalam industri perbankan (BPR/BPRS).
"Harapan kami adalah bahwa seminar ini dapat menjadikan BPR sebagai bank yang lebih tangguh dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi wilayah," kata Hermawan Setyo Wibowo.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa sebanyak 5% dari total Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) masih memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar per 31 Maret 2024. Hal ini menyisakan 70 entitas BPR/BPRS yang harus memenuhi kewajiban modal inti minimum hingga akhir tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan, "Posisi per 31 Maret 2024, BPR/BPRS yang sudah memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar adalah sebanyak 1.213 BPR/BPRS. Artinya hanya sekitar 5% yang belum memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar itu."
Meskipun tidak disebutkan secara spesifik jumlahnya, perkiraan menunjukkan sekitar 70 entitas BPR/BPRS yang masih memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar. Aturan modal inti minimum BPR diatur dalam POJK 5/2015, yang menetapkan batas sebesar Rp 6 miliar.
Mahendra menjelaskan bahwa aturan tersebut bertujuan untuk memperkuat dan mengkonsolidasi BPR, khususnya dalam mendukung pembiayaan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat.
Demi mendukung proses konsolidasi dan meningkatkan kinerja BPR/BPRS, OJK akan segera merilis aturan terbaru tentang konsolidasi bagi BPR/BPRS pada kuartal II-2024 ini. Aturan tersebut diharapkan dapat mempercepat transformasi industri BPR/BPRS menjadi lebih solid.
Selain itu, Mahendra juga mengumumkan bahwa OJK baru saja menerbitkan POJK 7/2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPR/BPRS). Aturan ini merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya dan menjadi tindak lanjut dari UU Perbankan, terutama dalam menyesuaikan nomenklatur serta persyaratan pendirian dan penggabungan BPR/BPRS.
Dengan rilisnya aturan terbaru ini, diharapkan industri BPR/BPRS dapat semakin solid dan mampu berperan lebih besar dalam mendukung perekonomian serta pembiayaan UMKM di Indonesia.
BPRNews.id - Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, mengingatkan PT Bank Perekonomian Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) se-Jateng untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan target kinerja. Langkah ini diambil sebagai antisipasi terhadap potensi tingginya Non-Performing Loan (NPL) atau masalah dalam pembayaran pinjaman.
NPL yang merupakan indikator kesehatan aset lembaga keuangan, seringkali timbul karena masalah ekonomi yang membuat debitur kesulitan membayar kreditnya.
Beberapa masalah yang dapat menyebabkan hal ini terjadi antara lain bencana yang merugikan aset debitur, pengelolaan keuangan yang buruk, perubahan kebijakan pemerintah, masalah usaha debitur, pemberian pinjaman yang tidak tepat, dan sebagainya.
"PT BPR BKK tentu memiliki target yang harus dicapai. Namun, pengambilan keputusan yang tergesa-gesa bisa berdampak buruk dalam jangka panjang," ujar Sumarno usai mengikuti acara Gathering dan Silaturahmi Forum BPR BKK se-Jawa Tengah di Manohara Hotel, Borobudur, Kabupaten Magelang pada Jumat, 3 Mei 2024.
Sumarno juga menyoroti kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pencabutan relaksasi kredit, yang sangat mempengaruhi kondisi perbankan. Oleh karena itu, keputusan yang diambil oleh BPR BKK harus dipertimbangkan dengan matang, terutama karena penyelesaian masalah NPL membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam pertemuan tersebut, Sekda juga mendiskusikan pengelolaan dan tantangan yang dihadapi BPR BKK di Jawa Tengah. Harapannya, BPR BKK dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Jateng, serta berkolaborasi dengan program-program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
"Kami ingin mendorong agar sumber daya yang bersumber dari APBD Jateng dapat berputar di Jawa Tengah," pungkasnya.
Kolaborasi dengan BUMD dan program-program pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan tambahan kepada BPR BKK dalam mengoptimalkan kinerjanya dan mengatasi tantangan yang dihadapi, sehingga dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta meminimalkan risiko NPL.
BPRnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sudah ada 1.213 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang memenuhi ketentuan modal inti Rp 6 miliar per Maret 2024. Di mana, batas pemenuhan ketentuan tersebut pada akhir 2024 ini.
Dengan capaian tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkapkan bahwa kini tersisa sekitar 5% BPR maupun BPRS yang belum memenuhi ketentuan permodalan. Di periode yang sama, sudah ada 8 pengajuan penggabungan yang terdiri dari 25 BPR/S.
Seperti diketahui, Peraturan OJK (POJK) Nomor 5 Tahun 2015 Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat telah mengatur kewajiban pemenuhan modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar yang wajib dipenuhi pada 31 Desember 2024.
Tujuan dari kebijakan tersebut untuk penguatan dan konsolidasi BPR. Adapun tujuan konsolidasi BPR dalam rangka memperkuat peran BPR dalam pembiayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat.
Karena itu, lanjutnya, upaya pengembangan BPR dan BPRS akan terus dilakukan ke depan yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan antara lain transfer dana, penukaran valuta asing, dan menggalang dana di pasar modal.
Selama tahun 2023, terdapat 13 pengajuan penggabungan yang terdiri dari 40 BPR dan BPRS yang telah mendapatkan pengajuan penggabungan. Pada tahun 2024 hingga bulan Maret, telah terdapat 8 pengajuan penggabungan yang terdiri dari 25 BPR dan BPRS.
“Dengan terbitnya ketentuan konsolidasi pada triwulan II tahun 2024 ini, diharapkan proses konsolidasi itu dapat semakin dipercepat dan diakselerasi untuk menuju industri BPR dan BPRS yang semakin solid,” kata Mahendra.
Dalam kesempatan tersebut, Mahendra juga menyampaikan bahwa pihaknya baru saja menerbitkan POJK Nomor 7 Tahun 2024 tentang BPR dan BPRS yang sedang dalam status proses pengundangan dan pembuatan salinan.
POJK ini merupakan penyempurnaan atas POJK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat Dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Kemudian sekaligus juga POJK Nomor 62 Tahun 2020 tentang BPR dan POJK Nomor 26 Tahun 2022 tentang BPRS.
“POJK ini merupakan tindak lanjut dan penyelarasan dari Undang-Undang P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan), terutama mengenai penyesuaian nomenklatur Bank Pengkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah. (Ini) terkait juga dengan hal-hal, termasuk pihak-pihak yang mendirikan BPR dan BPR Syariah, persyaratan mengenai BPR dan BPR Syariah yang dapat melakukan penawaran umum untuk badan hukum BPR dan BPR Syariah, penggabungan lembaga keuangan mikro dengan BPR dan BPR Syariah, dan konsolidasi industri BPR dan BPR Syariah,” ungkap dia.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali terus melakukan upaya untuk memperkuat sektor Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Bali, sejalan dengan arahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Pada Seminar tentang UU P2SK yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Daerah Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (DPD Perbarindo Bali) di Denpasar pada hari Selasa, 30 April 2024, Ananda R. Mooy, Direktur Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan untuk Provinsi Bali, menekankan pentingnya upaya tersebut. Ananda memberikan sambutan atas nama Kepala OJK Provinsi Bali, Kristrianti Puji Rahayu, yang juga hadir dalam acara tersebut.
Ananda menjelaskan bahwa sesuai dengan mandat UU P2SK, OJK terus mengawasi industri BPR untuk memastikan bahwa mereka beroperasi dengan kekuatan dan kesehatan yang baik, memenuhi fungsi perantara dengan baik sambil tetap melindungi nasabah.
"OJK telah mengarahkan agar BPR yang memenuhi persyaratan diizinkan untuk melakukan penawaran umum dan harus mematuhi prinsip-prinsip perilaku pasar yang baik," tambah Ananda.
UU P2SK memberikan peluang signifikan bagi BPR, namun diperlukan upaya untuk memperkuat tata kelola, manajemen risiko, sumber daya manusia, dan modal sehingga BPR dapat menjadi lebih kuat, unggul, dan kompetitif. OJK akan terus memperkuat sinergi dengan pelaku usaha jasa keuangan, pemerintah, regulator, kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan industri BPR yang stabil dan kontributif.
Pada acara yang dihadiri oleh pengurus, PSP BPR, dan BPRS di Provinsi Bali, serta narasumber dari Lembaga Penjamin Simpanan, OJK juga menyoroti tantangan lain yang dihadapi oleh BPR/BPRS di Bali, termasuk berakhirnya kebijakan stimulus perbankan pada 31 Maret 2024.
OJK berharap bahwa semua BPR dan BPRS di Provinsi Bali telah siap untuk kembali ke kondisi normal tanpa stimulus dan menghadapi tantangan struktural lainnya seperti cukupnya pengelolaan, pemanfaatan teknologi informasi, dan peningkatan kontribusi terhadap ekonomi regional.