BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap alasan di balik pencabutan izin PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Aceh Utara yang berlokasi di Lhokseumawe, Provinsi Aceh, hingga akhirnya menjadi bank bangkrut.
Keputusan ini mengacu pada Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-27/D.03/2024 tanggal 4 Maret 2024 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Aceh Utara.
"Pencabutan izin usaha PT BPR Aceh Utara merupakan bagian tindakan pengawasan yang dilakukan OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen," tulis OJK dalam keterangan resmi, Rabu (4/3/2024).
Kronologi tersebut terungkap setelah OJK mengungkapkan rangkaian kejadian hingga akhirnya BPR Aceh Utara menjadi bank yang bangkrut pada awal 2024. Pada 30 Maret 2023, OJK menetapkan PT BPR Aceh Utara dalam status pengawasan Bank Dalam Penyehatan dengan pertimbangan tingkat kesehatan yang dinilai predikat Tidak Sehat.
Kemudian, pada 12 Januari 2024, OJK menetapkan BPR Aceh Utara dalam status pengawasan Bank Dalam Resolusi setelah memberikan waktu yang cukup kepada Direksi dan Pemegang Saham Pengendali BPR untuk melakukan upaya penyehatan, termasuk mengatasi permasalahan permodalan. Namun, upaya penyehatan tersebut tidak berhasil.
Selanjutnya, berdasarkan Salinan Keputusan Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank Nomor 34/ADK3/2024 tanggal 28 Februari 2024 tentang Penyelesaian Bank Dalam Resolusi PT BPR Aceh Utara, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap PT BPR Aceh Utara dan meminta kepada OJK untuk mencabut izin usaha BPR.
"Guna menindaklanjuti permintaan LPS tersebut, OJK berdasarkan Pasal 19 POJK di atas, melakukan pencabutan izin usaha PT BPR Aceh Utara," jelas OJK.
OJK juga mengimbau kepada nasabah BPR agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan, termasuk BPR, dijamin oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bangkrutnya bank yang berlokasi di Aceh ini menjadi bank yang tumbang pada awal Maret 2024, menambah daftar bank yang mengalami kebangkrutan dalam tiga bulan terakhir.
BPRNews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menyiapkan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah dan pelaksanaan likuidasi PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh. Langkah ini diambil menyusul pencabutan izin usaha PT BPR Aceh Utara oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mulai berlaku sejak 4 Maret 2024.
"Serta tidak mempercayai pihak-pihak yang mengaku dapat membantu pengurusan pembayaran klaim penjaminan simpanan dengan sejumlah imbalan atau biaya yang dibebankan kepada nasabah," tambahnya, Senin (4/3/2024).
Sekretaris Lembaga LPS, Dimas Yuliharto, menghimbau agar nasabah PT BPR Aceh Utara tetap tenang dan tidak terpancing untuk melakukan tindakan yang dapat menghambat proses pembayaran klaim penjaminan dan likuidasi bank.
Untuk memastikan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah berjalan lancar, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan serta informasi lainnya. Proses ini diharapkan dapat selesai dalam waktu paling lama 90 hari kerja.
"Pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap selama kurun waktu tersebut," ujar Dimas.
Nasabah dapat memeriksa status simpanan mereka di kantor PT BPR Aceh Utara atau melalui website resmi LPS (www.lps.go.id) setelah pengumuman pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah PT BPR Aceh Utara oleh LPS.
"Bagi debitur bank, tetap dapat melakukan pembayaran cicilan atau pelunasan pinjaman di kantor PT BPR Aceh Utara dengan menghubungi Tim Likuidasi LPS," jelasnya.
Dimas juga menegaskan bahwa nasabah yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan penjaminan simpanan dan likuidasi PT BPR Aceh Utara dapat menghubungi Pusat Layanan Informasi (Puslinfo) LPS di nomor 154.
Dengan langkah-langkah ini, LPS bertekad untuk menjaga kepercayaan nasabah serta memastikan bahwa proses pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi bank berjalan dengan transparan dan efisien.
BPRNews.id - Bisnis Bank Perekonomian Rakyat (BPR) seringkali tertinggal dalam persaingan dengan bank umum yang memiliki jangkauan yang lebih luas, bahkan sampai ke tingkat kecamatan. Menanggapi tantangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen untuk mendorong transformasi BPR agar dapat tumbuh lebih kompetitif di masa mendatang.
Dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Februari 2024, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahwa BPR diharapkan dapat fokus pada bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Dalam upaya meningkatkan daya saingnya, BPR diminta untuk tidak bersaing secara langsung dengan bank-bank besar dalam pembiayaan korporasi dan sejenisnya," ujarnya.
Menurut Dian, segmen UMKM memiliki potensi yang luas, termasuk segmen yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh bank-bank besar. "Bahkan bank-bank besar seperti BRI pun memiliki keterbatasan dalam menjangkau segmen UMKM karena skalanya yang mungkin terlalu kecil bagi mereka," tambahnya.
Selain itu, OJK juga akan mendorong orientasi BPR untuk menjadi bank rakyat (community bank). Hal ini memerlukan pendekatan yang lebih personal dan memahami kebutuhan serta karakteristik nasabah secara sosial.
"Saya harapkan ke depan, BPR akan semakin kuat dalam pangsa pasarnya sendiri tanpa harus secara ketat memisahkan diri dari pasar bank umum," tegas Dian.
Namun, di tengah upaya transformasi tersebut, sepanjang tahun ini OJK telah mencabut izin 6 BPR, termasuk yang teranyar BPR EDCASH di Tangerang. Pada tahun sebelumnya, OJK juga mencabut izin usaha 4 BPR lainnya.
Ekonom sekaligus Direktur Esekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menggambarkan persaingan antara BPR dan bank umum sebagai kisah David melawan Goliath, dengan kaki David terikat.
Menurut Piter, BPR seharusnya dilindungi dari persaingan dengan bank besar karena dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah rural atau pedesaan. Namun, kenyataannya, BPR seringkali harus berhadapan langsung dengan bank besar di daerah tersebut.
"Pada dasarnya, BPR memiliki tantangan besar terutama dalam hal permodalan, teknologi, dan sumber daya manusia untuk mengembangkan unitnya," jelasnya.
Transformasi bisnis BPR menjadi sebuah kebutuhan mendesak agar BPR dapat tetap relevan dan berperan aktif dalam memajukan sektor UMKM serta memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah-daerah pedesaan.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah tegas dengan mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Aceh Utara. Keputusan ini diambil setelah tingkat kesehatan perbankan tersebut dinilai tidak memadai.
Kepala OJK Provinsi Aceh, Yusri, mengungkapkan bahwa pencabutan izin usaha tersebut dilakukan berdasarkan keputusan anggota Dewan Komisioner OJK. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi konsumen dari risiko yang mungkin timbul.
"OJK sesuai keputusan dewan komisioner, mencabut izin usaha PT BPR Aceh Utara yang beralamat di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Pencabutan izin usaha tersebut bertujuan melindungi konsumen," kata Yusri dalam konferensi pers di Banda Aceh pada hari Senin.
Menurut Yusri, langkah ini merupakan bagian dari upaya pengawasan yang dilakukan secara ketat oleh OJK untuk menjaga stabilitas dan kekuatan industri perbankan di Indonesia.
Sebelumnya, PT BPR Aceh Utara telah ditempatkan di bawah pengawasan bank dalam penyehatan pada 30 Maret 2023. Namun, upaya untuk memperbaiki kondisi kesehatan perbankan tersebut tidak berhasil.\
"Meskipun telah diberikan kesempatan dan waktu kepada direksi dan pemegang saham pengendali untuk melakukan penyehatan, namun tidak ada perbaikan yang signifikan," jelas Yusri.
Selain OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga turut mengambil langkah terkait dengan nasib PT BPR Aceh Utara. Mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap bank tersebut.
"Dengan dicabutnya izin usaha, maka LPS akan menjalankan fungsi penjamin dan melakukan proses likuidasi sesuai aturan perundang-undangan. Kami juga mengimbau nasabah tetap tenang karena dana di BPR dijamin LPS," tambah Yusri, menegaskan bahwa dana nasabah akan dijamin oleh LPS.
Meskipun demikian, nasabah PT BPR Aceh Utara diminta untuk tetap tenang dan tidak panik. Proses likuidasi akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan akan dipastikan bahwa hak-hak nasabah akan dijamin.
Bprnews.id - Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Tanah Air menghadapi ketidakpastian karena beberapa BPR mengalami masalah dan akhirnya tutup. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat enam BPR mengalami kebangkrutan dan izin operasionalnya dicabut. Keenam BPR yang terkena dampak ini termasuk Perumda BPR Bank Purworejo, PT BPR Bank Pasar Bhakti, PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto, Koperasi BPR Wijaya Kusuma, dan PT BPR EDCCASH.
Kasus terbaru adalah pencabutan izin PT BPR EDCCASH, sesuai dengan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK KEP-26/D.03/2024 tanggal 27 Februari 2024. Tindakan ini merupakan bagian dari pengawasan OJK untuk menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai regulasi yang mengatur industri BPR belum cukup efektif dalam melindungi BPR. Meskipun OJK telah membuat beberapa aturan khusus, banyak BPR masih mengalami kesulitan. Salah satu aturan terbaru adalah POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif BPR, yang menekankan manajemen risiko dan tata kelola aset perusahaan.
Dalam menghadapi tantangan ini, OJK berkomitmen untuk memperkuat dan mengkonsolidasi BPR. Meskipun jumlah BPR secara kuantitas mengalami penurunan, OJK memastikan jumlah keseluruhan kantor tidak jauh berbeda, karena beberapa kantor cabang digabungkan atau dilebur dengan BPR lain. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menyehatkan industri BPR dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.
OJK juga berencana meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan BPR sebagai bagian dari upaya peningkatan regulasi dan pengawasan. Dengan langkah-langkah ini, OJK berharap industri BPR akan memasuki era baru yang lebih sehat, berdaya saing, dan memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional, terutama dalam mendukung sektor UMKM.