Bprnews.id - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung meminta Pemerintah Kabupaten Bandung untuk melakukan evaluasi terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kertaraharja karena tercatat memiliki kredit macet senilai puluhan miliar rupiah.
Anggota Panssus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) DPRD Kabupaten Bandung, Yanto Setianto, mengungkapkan bahwa dalam dua tahun terakhir, BPR Kertaraharja mengalami peningkatan kredit bermasalah yang mencapai Rp90 miliar.
"Di akhir tahun 2022, kredit bermasalah BPR Kertaraharja mencapai Rp56 miliar. Jumlah tersebut meningkat pada 2023 menjadi Rp90 miliar," ungkap Yanto pada hari Minggu, 28 April 2024.
Yanto menyoroti bahwa besarnya jumlah kredit macet tersebut akan mengancam stabilitas keuangan BPR Kertaraharja, terutama mengingat total aset yang dimiliki hanya sebesar Rp600 miliar.
Meskipun BPR tersebut secara rutin memberikan kontribusi keuntungan melalui dividen kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung sebesar Rp3,5 miliar setiap tahunnya.
Dengan kondisi kredit macet yang signifikan, Yanto menekankan bahwa BPR Kertaraharja sekarang masuk dalam kategori Dalam Perhatian Khusus (DPK) dan Kurang Lancar (KL).
Bahkan, ia menambahkan bahwa BPR Kertaraharja dapat terancam masuk dalam kategori maladministrasi dalam penyaluran kredit, yang dapat berujung pada ancaman pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
"Kami menekankan pentingnya dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap komisaris dan direksi BPR Kertaraharja. Langkah ini diharapkan dapat membantu menyelamatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Bandung," tambahnya.
Sementara itu, Bupati Bandung, Dadang Supriatna, mengklaim bahwa masalah kredit macet di BPR Kertaraharja bukanlah terjadi selama masa jabatannya.
Meskipun jumlah kredit bermasalah senilai puluhan miliar rupiah terjadi dalam dua tahun terakhir, Bupati menegaskan bahwa masalah tersebut sudah ada sejak kepemimpinan sebelumnya.
"Dari pihak kami, kami berharap evaluasi yang menyeluruh terhadap BPR Kertaraharja dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menanggulangi masalah yang terjadi," pungkasnya.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY telah memastikan bahwa seluruh Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada dalam kondisi pengawasan normal.
Dari total 60 BPR dan BPRS yang beroperasi di DIY dan diawasi oleh OJK DIY, terdiri dari 47 BPR konvensional dan 13 BPRS.
Kepala OJK DIY, Parjiman, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap bank-bank tersebut dibagi menjadi dua kategori, yaitu bank dalam pengawasan normal dan bank yang sedang dalam proses penyehatan atau resolusi yang dikelola oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Dalam kasus rasio keuangan yang mengarah atau memburuk ke arah kriteria bank dalam proses penyehatan, kami meminta agar bank segera menyusun rencana tindakan perbaikan, dan kami akan memantau pelaksanaannya," ujarnya pada hari Minggu (28/04/2024).
Parjiman juga menambahkan, "Alhamdulillah, saat ini semua BPR di DIY berada dalam pengawasan normal." Namun, meskipun berada dalam pengawasan normal, terdapat 8 BPR di DIY yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum.
Sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 5/POJK.03/2015, BPR konvensional diwajibkan memenuhi modal minimum sebesar Rp 6 miliar hingga akhir tahun 2024, sementara BPRS harus memenuhi persyaratan tersebut hingga akhir tahun 2025.
Untuk memastikan pemenuhan modal inti minimum, OJK meminta BPR untuk menyusun rencana aksi dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun 2024. Dalam RBB tersebut, bank diminta untuk merencanakan pemenuhan modal inti minimum, yang dapat dilakukan melalui penambahan modal dari pemegang saham yang sudah ada atau dengan mengundang investor baru.
Selain itu, salah satu langkah yang bisa diambil oleh BPR yang belum mencapai modal inti minimum adalah dengan melakukan merger. Terdapat beberapa BPR/BPRS yang memiliki kepemilikan yang sama, sehingga diharapkan dengan melakukan merger, modal inti minimum BPR dapat sesuai dengan ketentuan POJK.
"Untuk 8 BPR yang belum mencapai modal inti minimum, namun telah menyusun rencana aksi untuk memenuhinya, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain adalah penambahan modal dari pemegang saham yang sudah ada, melakukan merger dengan BPR dalam satu grup, bergabung dengan BPR lain, atau mendapatkan tambahan setoran dari investor baru," tambah Parjiman.
Bprnews.id - Yanto Setianto, anggota DPRD Kabupaten Bandung, menyampaikan kekhawatiran serius terhadap potensi mal administrasi yang terjadi di BPR Kertaraharja, sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang didirikan pada tahun 2009.
Menurut laporan yang disampaikan kepada pansus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah kredit bermasalah yang telah mencapai Rp. 90,038,538,696,- pada akhir tahun 2023 dari Rp. 56 miliar pada akhir tahun 2022.
"DPRD sangat khawatir akan kondisi BPR Kertaraharja ini. Penyimpangan dalam penyaluran kredit atau dana rakyat Kabupaten Bandung dapat mengarah pada mal administrasi, yang dapat berdampak serius pada keuangan daerah," ungkap Yanto Setianto dalam keterangan yang disampaikan pada Jumat, 26 April 2024.
Yanto juga menyoroti rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari kinerja BPR Kertaraharja, yang hanya sebesar Rp. 3,5 miliar dari total aset Rp. 600 miliar, menunjukkan ketidakseimbangan yang signifikan.
Pemkab Bandung telah memberikan tambahan penyertaan modal sebesar Rp. 10 miliar pada tahun 2023, namun pada tahun 2024, BPR kembali mengajukan tambahan penyertaan modal sebesar Rp. 10 miliar.
"Dalam rangka penyelamatan, kami menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap direksi dan komisaris BPR Kertaraharja. Selain itu, DPRD perlu membentuk Pansus untuk mengevaluasi semua BUMD Pemkab Bandung, guna memastikan dana yang menjadi hak rakyat dapat tersalurkan dengan efektif dan tepat sasaran," tegas Yanto.
Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, langkah-langkah penanganan yang tepat diperlukan agar kesehatan keuangan BPR Kertaraharja dapat dipulihkan dan kepercayaan masyarakat serta lembaga keuangan terhadap BUMD tersebut dapat dipulihkan.
Bprnews.id - Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, melalui Anggota Komisi B DPRD Kota Depok, Hafid Nasir, mengumumkan rencana pembentukan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) sebagai salah satu langkah penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Menurut Bang Hafidz, BPR akan memainkan peran yang signifikan dalam kemajuan ekonomi Kota Depok dengan memberikan pinjaman modal kepada pelaku UKM untuk pengembangan usaha mereka. Langkah ini diharapkan dapat memudahkan dan memberdayakan UKM di Kota Depok untuk tumbuh dan berkembang.
"BPR merupakan bagian penting dari permodalan pelaku UKM, dan kami berharap dapat mewujudkannya sebagai salah satu BUMD Kota Depok," ujar Bang Hafidz.
Pembentukan BPR ini juga merupakan bagian dari komitmen pemerintah kota Depok untuk memberikan perhatian kepada masyarakat, terutama dalam memajukan sektor ekonomi.
Program-program seperti Wirausaha Usaha Baru (WUB) yang mencakup target menciptakan 5.000 pengusaha baru dan 1.000 pengusaha perempuan, menjadi upaya nyata untuk memberikan dukungan dalam bentuk pendampingan, permodalan, dan perizinan usaha.
"Kami berharap janji kampanye untuk mewujudkan 5.000 pengusaha baru dan 1.000 pengusaha perempuan dapat terealisasi. Ini merupakan bagian dari komitmen untuk memperhatikan dan mendukung pelaku UKM agar dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan ekonomi," kata Bang Hafidz, yang juga merupakan politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Langkah pembentukan BUMD BPR ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Depok secara keseluruhan.
Bprnews.id - PT BPR Andalas Baruh Bukit (ABB) mengumumkan pencapaian kinerja yang mengesankan untuk tahun 2023, dengan laba bersih usaha mencapai Rp 319 juta, menunjukkan pertumbuhan sebesar 59,50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Direktur Utama ABB, Sabarudin, menjelaskan bahwa fokus utama perusahaan dalam tahun 2023 adalah peningkatan kualitas kredit dan pengendalian biaya, sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB). Pendekatan strategis ini membawa hasil yang positif, dengan laba bersih usaha yang berhasil direbound meskipun aset mengalami penurunan.
Total aset ABB per 31 Desember 2023 mencapai Rp 47,2 miliar, yang didukung oleh dana pihak ketiga sebesar Rp 38,8 miliar, terdiri dari dana tabungan dan deposito. Selain itu, beban dana dan beban operasional juga mengalami penurunan signifikan, yang turut berkontribusi pada peningkatan laba bersih usaha.
Meskipun realisasi kredit masih fluktuatif, ABB berhasil mencatat total kredit sebesar Rp 34,9 miliar. Pendapatan operasional yang berhasil dibukukan mencapai Rp 4,3 miliar, dengan pendapatan bunga dan pendapatan lainnya yang relatif stabil.
Selain itu, ABB juga berhasil meningkatkan kualitas kredit dengan menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL) menjadi 4,65 persen. Pengendalian biaya yang efektif juga tercermin dalam penurunan rasio Biaya Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO) menjadi 92,50 persen.
Dengan capaian yang positif ini, ABB menetapkan target untuk tahun 2024 dengan memaksimalkan realisasi kredit, menurunkan rasio NPL, dan terus memperbaiki pengendalian biaya. Harapannya, langkah-langkah ini akan terus memperkuat kinerja perusahaan dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah Tanah Datar dan sekitarnya.