Bprnews.id - Kuasa hukum PT Bumiputera Sekuritas (BPS), David M.L Tobing, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil tindakan tegas terhadap Bank Victoria Syariah (BVIS). Hal ini menyusul penahanan dana nasabah BPS senilai Rp38,47 miliar yang tertahan di dua rekening BVIS.
"Kami mendesak BVIS segera mengembalikan saldo BPS sebesar Rp38,470 miliar segera mungkin. Selain itu, OJK kami desak agar memerintahkan BVIS untuk mengeluarkan perintah pengembalian saldo yang dihilangkan oleh BVIS," ungkap David dalam pernyataannya pada Senin, 22 Januari 2024.
David menekankan bahwa apabila dana tersebut tidak dikembalikan dengan cepat, BVIS layak untuk ditutup oleh OJK. Ia juga memperingatkan nasabah BVIS agar berhati-hati agar tidak mengalami nasib serupa.
"Kalau memang tidak beritikad baik kembalikan dana BPS, maka BVIS patut ditutup oleh OJK. Ini juga menjadi peringatan kepada nasabah BVIS dan masyarakat umum untuk berhati-hati agar tidak mengalami hal yang sama," tegas David.
Kekecewaan dari BPS muncul karena, meski telah melaporkan insiden ini kepada OJK dan Bareskrim, belum ada kejelasan mengenai peristiwa tersebut.
David memberikan kronologis dugaan penahanan saldo di BVIS.
Sebagai nasabah sejak 2014, BPS memiliki dua rekening tabungan di BVIS, dengan saldo keduanya mencapai Rp38,47 miliar.
Namun, pada Februari 2023, saat BPS ingin menarik dana, mereka mendapati bahwa kedua rekening tersebut telah diblokir.
"BPS telah melapor ke OJK karena diblokir. Pada 4 April 2023, BPS melakukan pengaduan secara online melalui Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (APPK OJK). Pada 6 April 2023, kami melakukan pengaduan tertulis kepada Direktur Pengawasan Bank 2 Departemen Pengawasan Bank 3 OJK. Namun, hingga 18 April 2023, belum ada hasil positif," ungkap David.
Setelah tidak mendapatkan hasil positif dari OJK, BPS melaporkan BVIS kepada Bareskrim POLRI, yang kemudian mengungkapkan bahwa penyidik tidak pernah mengeluarkan perintah blokir untuk kedua rekening Bumiputera Sekuritas tersebut. BVIS baru memberitahukan bahwa saldo kedua rekening tersebut hanya tersisa sebesar Rp17,056 miliar.
"BVIS mensyaratkan bahwa jika dana ingin diambil, BPS tidak boleh memiliki dana lagi di BVIS dan harus menyatakan tidak akan mengajukan tuntutan di kemudian hari. Ini sangat aneh dalam hubungan nasabah dan bank, nasabah yang sudah dirugikan malah ditekan oleh bank," tambah David.
David menilai bahwa BVIS telah melakukan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum dengan memblokir dan menahan saldo BPS tanpa dasar hukum yang jelas. Menurutnya, ada tiga bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan BVIS terhadap BPS.
"Pertama, secara sepihak melakukan pemblokiran pada kedua rekening BVIS tanpa mengikuti ketentuan perundangan yang berlaku dan tanpa adanya perintah blokir dari polisi. Kedua, memberikan syarat tambahan penarikan dana milik BPS. Ketiga, tanpa memberikan penjelasan detil yang disertai dokumen-dokumen resmi, BVIS hanya mengakui total saldo pada dua rekening atas nama PT Bumiputera Sekuritas sebesar Rp17,056 miliar," papar David.
Dalam konteks ini, David mengingatkan bahwa Pasal 8 ayat (1) POJK No. 6/POJK.07/2022 menyatakan bahwa PUJK wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang timbul akibat kesalahan, kelalaian, dan/atau perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, Pegawai, dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan himbauan kepada anak muda untuk berhati-hati dalam menggunakan layanan buy now pay later (BNPL) atau "pay later".
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan bahwa kredit macet di layanan "pay later" dapat berdampak negatif pada pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR).
Menurut Friderica, banyak anak muda yang mengalami penolakan dalam pengajuan KPR karena memiliki riwayat kredit macet di layanan "pay later". Bahkan, ada bank yang melaporkan bahwa sejumlah anak muda kesulitan mendapatkan KPR karena terjerat utang di layanan "buy now pay later".
"Ada suatu bank bilang, di kredit perumahan untuk masyarakat, banyak anak muda yang tidak bisa KPR karena mereka sudah nyangkut di BNPL," ungkap Friderica dalam Kegiatan Edukasi Keuangan bagi Pelajar Tingkat SMA/Sederajat di Wilayah Jakarta Selatan.
Friderica menambahkan bahwa besaran utang yang macet di layanan "pay later" relatif kecil, berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000. Meskipun nominalnya kecil, utang tersebut dapat menjadi hambatan dalam pengajuan KPR.
OJK mengajak anak muda untuk meningkatkan literasi keuangan secara digital, khususnya dalam penggunaan layanan keuangan digital seperti "pay later".
Menurutnya, masih ditemukan kurangnya pemahaman tentang konsekuensi dari penggunaan layanan tersebut.
"Kadang cuma buat makan sama pacar, atau beli baju. Mereka tidak tahu kalau itu akan gulung menjadi utang yang mereka harus tetap bayar," terang Friderica.
Survei Jakpat terbaru menunjukkan bahwa satu dari empat orang menggunakan "paylater" sebagai metode pembayaran.
OJK mengingatkan bahwa kredit macet di layanan tersebut tidak hanya berdampak pada pengajuan KPR, tetapi juga bisa mempengaruhi peluang mendapatkan pekerjaan baru, karena kondisi keuangan menjadi pertimbangan dalam rekrutmen pegawai baru.
OJK mendorong anak muda untuk bertanggung jawab secara keuangan dan bijak dalam menggunakan layanan keuangan digital.
Bprnews.id - Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan pembiayaan oleh rumah tangga melalui utang atau kredit dengan sumber pembiayaan utama berasal dari pinjaman bank umum. Hal ini diungkapkan dalam Survei Penawaran dan Permintaan Pembiayaan Perbankan yang dirilis oleh BI.
Berdasarkan survei tersebut, terdapat peningkatan signifikan pada responden rumah tangga yang melakukan penambahan pembiayaan melalui utang/kredit pada Desember 2023, mencapai 11,9% dari total responden. Meskipun relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 10,7%, data ini mencerminkan tingginya minat masyarakat untuk memperoleh pembiayaan.
Menurut BI, sumber utama pemenuhan pembiayaan rumah tangga pada Desember 2023 berasal dari pinjaman bank umum dengan pangsa sebesar 35,8%, mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang sebesar 33,2%. Alternatif sumber pembiayaan lain seperti koperasi dan leasing mengalami penurunan pangsa masing-masing menjadi 23,1% dan 15%.
Sementara itu, pembiayaan dari perusahaan Financial Technology (Fintech) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengalami peningkatan. BI mencatat bahwa mayoritas pembiayaan yang diajukan oleh rumah tangga pada Desember 2023 adalah Kredit Multi Guna (KMG) sebesar 41,5%, meskipun mengalami penurunan dari bulan sebelumnya.
Pembiayaan lainnya termasuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), kredit peralatan rumah tangga, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan kartu kredit. Responden yang berencana melakukan penambahan pembiayaan ke depan tercatat sebesar 7,4% pada Desember 2023, menunjukkan peningkatan dari bulan sebelumnya yang sebesar 6,9%. Dalam rencana waktu pengajuan pembiayaan, sebagian besar akan dilakukan pada 12 bulan ke depan, diikuti oleh lebih dari 12 bulan dan 3 bulan mendatang.
Bank umum diperkirakan akan tetap menjadi sumber utama pembiayaan pada rencana ke depan, dengan pangsa sebesar 53,4%. Seluruh data ini memberikan gambaran mengenai dinamika permintaan pembiayaan rumah tangga di Indonesia, dengan kecenderungan peningkatan pembiayaan dari sektor perbankan, fintech, dan BPR. Pihak BI akan terus memonitor perkembangan ini untuk menjaga stabilitas dan kesehatan sektor keuangan di tanah air.
Bprnews.id - Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Penjabat (Pj) Bupati Aceh Utara dalam upaya penyelamatan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) Aceh Utara. Dukungan ini disampaikan oleh Hidayattullah Yakob, Wakil Ketua Umum IPAU pada hari Minggu, 21 Januari 2024.
BPR Aceh Utara saat ini berada dalam status Bank Dalam Resolusi (BDR) di bawah pengawasan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan menjadi pusat perhatian setelah diberlakukannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Regulasi ini memberikan dampak signifikan pada BPR Aceh Utara, termasuk pembatasan penyertaan modal, terutama bagi lembaga keuangan yang belum menerapkan prinsip syariah.
Hidayattullah mengungkapkan harapannya agar BPR Aceh Utara segera melakukan konversi ke sistem keuangan syariah dan melakukan evaluasi terhadap manajemennya. Langkah ini dianggap sangat penting untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan secara bertahap mengembalikan kestabilan dan kepercayaan masyarakat.
"Kita berharap agar BPR Aceh Utara segera melakukan konversi ke sistem keuangan syariah, sekaligus melakukan evaluasi terhadap jajaran manajemennya. Langkah ini sangat penting dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi, sehingga secara bertahap dapat mengembalikan kestabilan dan kepercayaan masyarakat," ujar Hidayattullah.
Selain itu, Hidayattullah mengajak semua stakeholder terkait, termasuk Pemerintah Aceh Utara, DPRK Aceh Utara, Komisaris Bank Aceh Syariah (BAS), Manajemen BPR Aceh Utara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk bekerja sama dalam upaya menyelamatkan BPR Aceh Utara dari potensi kegagalan. Hidayattullah juga meminta Bank Aceh Syariah (BAS) untuk membantu Pemerintah Aceh Utara sebagai pemegang saham kedua terbesar. Dia berharap BAS dapat membimbing konversi BPR Aceh Utara ke sistem syariah, sehingga operasional bank dapat kembali berjalan lancar dan normal.
Melalui dukungan berbagai pihak dan langkah-langkah yang diambil, diharapkan BPR Aceh Utara dapat melewati masa sulit ini dan memperbaiki kondisinya menuju keberlangsungan yang lebih baik. Langkah-langkah lanjutan dalam proses penyelamatan akan terus dipantau oleh IPAU dan masyarakat Aceh Utara.
Bprnews.id - Masalah kredit macet yang melanda Bank Jepara Artha semakin kompleks dengan terungkapnya fakta bahwa sejumlah debitur bermasalah adalah penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Tim Penyehatan Bank Jepara Artha baru-baru ini mengungkapkan bahwa kredit dengan nominal besar, mencapai di atas Rp5 miliar, diberikan kepada debitur yang ternyata merupakan penerima manfaat dari program bantuan sosial.
Edy Marwoto, Anggota Tim Penyehatan sekaligus Komisaris Bank Jepara Artha, menyatakan bahwa hasil pengecekan langsung ke lapangan di Kabupaten Klaten mengungkapkan fakta mengejutkan ini.
"Rumah asli debitur setelah dilihat ternyata merupakan penerima PKH," kata Edy Marwoto pada Sabtu, 20 Januari 2024.
Edy mengatakan bahwa debitur ini menjaminkan tanah berupa sawah sebagai agunan, meskipun dia lupa secara persis jumlah yang dipinjam dari Bank Jepara Artha.
"Pokoknya di atas Rp5 miliar semua," jelas Edy.
Sekretaris Tim Penyehatan Bank Jepara Artha, Yeni Yahya, menyatakan bahwa tim akan melakukan konfirmasi lebih lanjut kepada para debitur yang bermasalah. Dari 38 debitur yang telah diidentifikasi sebagai masalah, baru sejumlah kecil dari mereka yang sudah ditemui oleh tim.
Dari pertemuan awal, diketahui bahwa penerima PKH tersebut merupakan seorang wiraswasta dengan usaha kos-kosan dan tempat penitipan anak. Yeni mengungkapkan bahwa perekonomian debitur ini dapat dikategorikan sebagai menengah.
"Termasuk yang penerima PKH itu, kita akan konfirmasi lagi," ungkap Yeni.
Meskipun tim penyehatan telah mengantongi nama-nama dan profil 38 debitur bermasalah, pihak bank mengakui bahwa mereka belum memiliki data secara detail terkait latar belakang para debitur tersebut. Situasi ini semakin memperumit penyelesaian masalah kredit macet di Bank Jepara Artha, sementara pihak terkait berkomitmen untuk melakukan investigasi lebih lanjut demi menemukan solusi yang adil dan transparan. Perkembangan selanjutnya akan terus dipantau oleh masyarakat dan otoritas terkait.