Bprnews.id - Industri perbankan Indonesia sedang menghadapi tantangan yang signifikan sepanjang tahun 2024 ini. Dalam rentang waktu dari Januari hingga Mei 2024, tidak kurang dari 12 bank telah dinyatakan mengalami kebangkrutan dan dicabut izin usahanya oleh OJK.
Menurut Purbaya Yudhi Sadewa, seorang Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), setiap tahun memang terdapat beberapa bank yang mengalami kesulitan. Namun, para analis ekonomi menilai bahwa jumlah bank yang terjerumus pada tahun 2024 ini sangat tidak proporsional.
Misalnya, pada tahun 2023 hanya empat bank yang mengalami kebangkrutan. Menurut Purbaya, penyebab utama dari kejatuhan bank-bank tersebut adalah masalah manajemen yang dilakukan oleh pemiliknya.
Berikut adalah daftar bank yang dilaporkan mengalami kebangkrutan pada tahun 2024 :
Analisis Mendalam tentang Kondisi Bank-Bank yang Keguguran di Tahun 2024
Jika kita telaah lebih lanjut, dapat dilihat bahwa mayoritas bank yang terkena dampak adalah Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Menurut Lana Soelistianingsih, Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ada dua penyebab utama kebangkrutan BPR.
Pertama, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab dalam membayar simpanan dan nasabah. Kedua, sering kali BPR tidak menjalankan pencatatan yang baik terhadap tabungan nasabah.
Sementara itu, Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyatakan bahwa penipuan dan tata kelola manajemen yang buruk menjadi penyebab utama kegagalan bank-bank di Indonesia.
Langkah Penyelesaian yang Dapat Dilakukan Pemerintah
Meskipun kebangkrutan bank adalah hal yang tak terhindarkan setiap tahunnya, namun dengan meningkatnya jumlah bank yang terjerumus pada tahun ini, pemerintah harus mengambil tindakan yang lebih tegas.
Penting untuk dicatat bahwa OJK tidak sembarangan dalam menutup atau mencabut izin bank, tetapi keputusan tersebut didasarkan pada pengawasan ketat yang dilakukan oleh OJK sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
OJK dan pemerintah harus memperhatikan nasib para nasabah bank yang terdampak. OJK perlu berkolaborasi dengan LPS untuk menyelesaikan masalah antara nasabah dan bank, termasuk pengembalian dana nasabah.
Pengawasan terhadap lembaga keuangan di Indonesia harus terus ditingkatkan, dan meskipun jumlah bank yang akan ditutup di tahun-tahun mendatang sulit diprediksi, namun diperkirakan akan mengalami peningkatan.
BPRNews.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungpinang, Alinaex Hasibuan, meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang untuk menolak eksepsi terdakwa kasus korupsi dana Perusahaan Daerah (PD) BPR Bestari Tanjungpinang, Arif Firmansyah.
Permintaan ini disampaikan pada persidangan dengan agenda tanggapan terhadap eksepsi terdakwa di Pengadilan Tipikor Tanjungpinang, Senin (3/6/2024).
Dalam persidangan, Alinaex Hasibuan menyampaikan permohonan kepada majelis hakim untuk menolak eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa Arif Firmansyah pada perkara nomor 4/Pid.Sus-TPK/2024/PN Tpg.
Menurut Alinaex, dakwaan JPU telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf a dan b KUHAP. Oleh karena itu, jaksa meminta majelis hakim untuk melanjutkan pokok perkara.
"Kita meminta pokok perkara terdakwa agar dilanjutkan," tegas Alinaex.
Sementara itu, dalam persidangan, penasihat hukum terdakwa, Rian Hidayat, menyatakan tidak menanggapi tanggapan JPU. "Kami sesuai eksepsi sebelumnya, dan tidak menanggapi tanggapan JPU," ucap Rian Hidayat.
Menanggapi hal tersebut, majelis hakim yang dipimpin oleh Ricky Ferdinand menunda persidangan selama satu pekan mendatang dengan agenda putusan sela. "Kita menunda persidangan satu pekan mendatang dengan agenda putusan sela," jelasnya.
Sebelumnya, terdakwa Arif didakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain itu, terdakwa juga dijerat Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dalam dakwaan subsidair.
Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dipisahkan dalam berkas terpisah, Arif Firmansyah didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan pertama.
Alternatifnya, ia didakwa melanggar Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan kedua.
BPRNews.id – Bahrani, mantan Direktur Utama PT BPR Barito Kuala, menghadapi tuntutan hukuman penjara selama enam tahun. Bahrani didakwa menyelewengkan uang dari tempat kerjanya.
Selain tuntutan penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rizka Nurdiansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Kuala juga menetapkan terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp 500.000.000. Jika Bahrani tidak mampu membayar denda tersebut, maka ia harus menjalani pidana kurungan selama enam bulan.
Tuntutan ini disampaikan oleh JPU dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, dipimpin oleh hakim Yusriansyah. JPU meyakini bahwa terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 3 jo Pasal 18 ayat (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, seperti yang tercantum dalam dakwaan subsider.
Selama menjabat sebagai pimpinan BPR, Bahrani didakwa telah menyelewengkan dana perusahaan yang mencapai Rp 8.480.000.000. Tindakan ini dilakukan oleh terdakwa sejak tahun 2019 hingga 2022.
Dalam menjalankan aksinya, terdakwa menggunakan modus operandi dengan meloloskan persyaratan kredit untuk 17 orang debitur, yang tidak sesuai dengan ketentuan BPR, sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 8.480.000.000.
Tidak hanya Bahrani, beberapa karyawan yang menjadi saksi dalam kasus ini, seperti Mabyudin, M Zuifansyah, Dewi Yanthi, dan Chairi Mahadiani, kemungkinan juga akan menjadi terdakwa dalam kasus yang sama.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan kerugian negara yang cukup besar dan menunjukkan adanya praktik korupsi di tingkat perbankan yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan masyarakat
BPRNews.id - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, mengimbau bank untuk menjadi lebih transparan dan terbuka dalam menyampaikan informasi kepada nasabah tentang besaran Tingkat Bunga Penjaminan yang berlaku saat ini. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran nasabah akan keamanan simpanan mereka.
Purbaya menekankan pentingnya penempatan informasi tersebut di tempat yang mudah diakses oleh nasabah atau melalui media informasi serta channel komunikasi bank kepada nasabah.
"LPS juga mengimbau agar bank selalu memperhatikan ketentuan Tingkat Bunga Penjaminan simpanan dalam rangka penghimpunan dana," ujarnya.
Selain itu, dalam menjalankan operasionalnya, bank juga diminta untuk tetap mematuhi pengaturan dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta ketentuan pengelolaan likuiditas oleh Bank Indonesia (BI).
Purbaya juga mengomentari penutupan beberapa BPR di awal tahun ini. Dia menjelaskan bahwa penutupan tersebut bukan mengindikasikan adanya penurunan ekonomi.
"Dalam 5 bulan terakhir, ada 12 BPR yang tutup, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh kelemahan manajemen atau tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh para pengurus BPR," jelasnya.
LPS terus memantau kondisi semua BPR yang masih beroperasi di Indonesia, dengan memastikan bahwa kondisi keuangan BPR-BPR tersebut tetap dalam keadaan sehat.
BPRNews.id - Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan memperkuat kepercayaan nasabah bank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah membuka Kantor Perwakilan LPS II di Surabaya. Peresmian kantor ini dilakukan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, bersama dengan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono.
Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa pemilihan Surabaya sebagai lokasi kantor perwakilan LPS didasari oleh pertimbangan bahwa Surabaya adalah salah satu kota besar di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan transaksi bisnis yang tinggi.
"Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu pusat ekonomi di Indonesia. Hal ini terlihat dari porsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap PDB Indonesia pada Triwulan I-2024 yaitu sebesar 14,45 persen," kata Purbaya dalam keterangan resmi yang dikutip Minggu (2/6/2024).
Purbaya menambahkan bahwa pada Triwulan I-2024, pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mencapai 4,81 persen secara tahunan. Dari sisi Dana Pihak Ketiga (DPK), per April 2024, DPK perbankan di Provinsi Jawa Timur mencapai Rp 755,61 triliun, atau setara dengan 8,73 persen dari total DPK nasional. Per April 2024, DPK Jawa Timur tumbuh 8,05 persen secara tahunan.
Pj Gubernur Jatim, Adhy Karyono, menyatakan bahwa LPS sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem perbankan harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan terhadap simpanan nasabah.
"Dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap simpanan, kepercayaan nasabah akan bertambah. Masyarakat merasa aman dan nyaman dalam bertransaksi di bank, sehingga mampu menjaga stabilitas ekonomi di wilayah Jawa Timur," ujarnya.
LPS telah menunjuk Bambang S. Hidayat sebagai Kepala Kantor Perwakilan LPS II di Surabaya, dengan cakupan wilayah kerja yang meliputi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan seluruh wilayah Kalimantan. Kantor Perwakilan LPS di Surabaya berlokasi di Pakuwon Tower Lantai 27, Jalan Embong Malang No. 21-31, Kedung Doro, Kecamatan Tegalsari.
Selain Kantor Perwakilan LPS II di Surabaya, pada tahun ini LPS juga telah membuka kantor perwakilan di dua daerah lainnya, yaitu Kantor Perwakilan LPS I di Medan dan Kantor Perwakilan LPS III di Makassar.