Bprnews.id - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan bahwa dua Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah mengalami kebangkrutan di awal tahun 2024.
Dalam konferensi pers KSSK di Jakarta pada Rabu (31/1/2024), Purbaya memberikan peringatan bahwa jumlah BPR yang bangkrut kemungkinan akan terus bertambah seiring berjalannya tahun.
Proyeksi ini didasarkan pada rata-rata jumlah BPR yang dilikuidasi setiap tahunnya, yang menurut data LPS mencapai 7-8 BPR.
"Kemungkinan akan ada tambahan BPR yang mengalami kebangkrutan di tahun 2024," kata Purbaya.
Meskipun demikian, Purbaya menekankan bahwa tutupnya sejumlah BPR tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional. Hal ini disebabkan oleh modal inti BPR yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan bank umum.
LPS, sebagai lembaga penjamin, berkomitmen untuk menjamin dana nasabah dari bank yang mengalami likuidasi. Purbaya mengklaim bahwa penutupan suatu BPR tidak akan menimbulkan gejolak di masyarakat, karena LPS dapat menanganinya dengan cepat dan memberikan perlindungan terhadap dana nasabah.
"Kita tutup dengan cepat dana-dana yang dibutuhkan masyarakat," ujarnya.
Purbaya menjelaskan bahwa penutupan sejumlah BPR dalam beberapa tahun terakhir bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang buruk. Sebagian besar kasus penutupan BPR disebabkan oleh permasalahan internal di dalam BPR itu sendiri, seperti kasus fraud.
"Kebanyakan kasus penutupan BPR disebabkan oleh fraud di dalam BPR tersebut. Jika BPR mengalami kondisi yang tidak dapat diperbaiki, kita tutup dengan cepat," tambahnya.
Sebagai informasi tambahan, selama tahun 2023, LPS telah membayarkan klaim dana simpanan nasabah sebesar Rp 329,2 miliar, setara dengan 92,6 persen dari total simpanan yang ada di bank.
Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkap bahwa banyak Badan Perkreditan Rakyat (BPR) yang mengalami kebangkrutan belakangan ini disebabkan oleh kesalahan manajemen dan bukan akibat kondisi perekonomian yang buruk.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyatakan bahwa beberapa BPR mengalami kebangkrutan karena tindakan pemilik bank yang menggelapkan dana.
"Kami berkoordinasi ketat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menangani masalah ini, umumnya karena dimaling oleh pemilik bank," ujar Purbaya dalam konferensi pers di kantornya pada Selasa (30/1).
Purbaya menjelaskan bahwa selama 18 tahun terakhir, rata-rata ada 6 hingga 7 BPR yang mengalami kebangkrutan setiap tahunnya. Tahun ini juga masih terdapat BPR yang mengalami penutupan, namun jumlahnya belum dapat dipastikan.
"Penyebab utamanya bukan karena kondisi ekonomi yang buruk, melainkan karena masalah miss manajemen. Tahun ini juga ada yang melaporkan keadaan tersebut kepada kami, namun jumlahnya belum kita ketahui," tambahnya.
LPS terus berkoordinasi dengan OJK untuk menangani situasi ini dengan harapan dapat mencegah terjadinya kegaduhan di masyarakat dan menjaga iklim perbankan yang kondusif.
"Penting untuk diingat bahwa kondisi finansial dan ekonomi kita saat ini baik. Meskipun beberapa bank mengalami kebangkrutan, hal ini sudah menjadi hal biasa dari waktu ke waktu. Tahun ini mungkin akan kembali ke rata-rata yang biasa terjadi sebelumnya," jelas Purbaya.
Purbaya juga menambahkan bahwa kesalahan manajemen umumnya dapat diperbaiki dengan pengembangan sistem teknologi sebagai kontrol terhadap kejahatan keuangan.
"Kami tidak dapat memberikan bantuan yang berlebihan, namun kami akan mencoba mengembangkan sistem IT yang dapat digunakan oleh BPR untuk meningkatkan kemampuan manajemen mereka dan bersaing secara lebih baik," pungkasnya.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat prestasi gemilang perbankan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan menyalurkan kredit sebesar Rp 7,23 triliun kepada petani kelapa sawit di Sumatera Selatan (Sumsel) hingga akhir tahun 2023.
Kepala OJK Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Untung Nugroho, mengungkapkan bahwa bank-bank utama seperti BPD Sumsel Babel, BRI, BNI, dan Mandiri, telah berkontribusi dalam pengucuran kredit ini kepada 44.704 petani kelapa sawit di wilayah tersebut. Dari total kredit tersebut, sekitar Rp 701,44 miliar dialokasikan khusus untuk pembiayaan peremajaan kelapa sawit yang diberikan kepada 8.787 petani.
"Langkah ini merupakan bukti nyata dukungan terhadap sektor pertanian, khususnya petani kelapa sawit di Sumsel. Kami berharap hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional," ungkap Untung pada hari Selasa (30/1/2024).
Pertemuan antara petani sawit, OJK, dan pemangku kepentingan lainnya telah membahas empat aspek penting dalam meningkatkan akses keuangan bagi petani kelapa sawit.
Di antaranya adalah pengembangan produk pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik perkebunan sawit, optimalisasi penggunaan dana Peremajaan Sawit Rakyat melalui kerjasama tripartit antara Bank, BPDPKS, dan Koperasi/Gapoktan, peran offtaker sebagai pengganti avalis untuk pembiayaan panen siklus kedua dan seterusnya, dan potensi pemberian relaksasi khusus petani sawit atas persyaratan KUR sesuai Permenko 1/2023 tentang Implementasi KUR.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menambahkan bahwa para pemangku kepentingan dan petani perlu bersatu dalam mengidentifikasi permasalahan, hambatan, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi para petani kelapa sawit.
"Komoditas kelapa sawit menjadi strategis bagi Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Peningkatan produktivitas dan perluasan akses pembiayaan, termasuk melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) Khusus, sangat diperlukan," kata Mahendra.
Mahendra optimistis bahwa sektor kelapa sawit di Sumatera Selatan akan terus berkembang, memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah dan nasional.
Dia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dalam mencari solusi dan meningkatkan produktivitas melalui berbagai cara, seperti intensifikasi lahan dan pengembangan pengolahan produk turunan kelapa sawit dengan dukungan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan.
Bprnews.id - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan fakta mengejutkan terkait banyaknya bank perkreditan rakyat (BPR) yang mengalami kebangkrutan.
Dalam konferensi pers pada Selasa (30/1/2024), Purbaya menyatakan bahwa selama 18 tahun terakhir, rata-rata 6-7 BPR jatuh setiap tahunnya.
Menurut Purbaya, penyebab kebangkrutan BPR bukanlah masalah ekonomi melainkan masalah manajemen.
"BPR itu setiap tahun, kalau kita lihat dari 18 tahun terakhir rata-rata setiap tahun itu 6-7 BPR jatuh utamanya bukan berhubungan dengan kondisi ekonomi, utamanya berhubungan dengan mismanagement," ungkapnya.
Tahun ini, Purbaya menyebut ada BPR yang diserahkan ke LPS, namun jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Dia menegaskan bahwa LPS akan melakukan antisipasi dan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memastikan penanganan kebangkrutan BPR berlangsung dengan lancar.
"Saya bilang tadi 6-7 itu, tahun ini mungkin akan jatuh ke rata-ratanya lagi kalau kita lihat kita antisipasi ya, jadi kami koordinasi ketat dengan OJK untuk masalah itu," tambahnya.
Purbaya melanjutkan, masalah umum yang sering terjadi di BPR adalah fraud, di mana pemilik bank terlibat dalam pengambilan uang dari bank tersebut.
"Umumnya, saya bilang tadi karena kesalahan manajemen, bukan salah manajemen, fraud. Jadi dimaling sama pemilik banknya, utamanya itu, kalau salah manajemen masih bisa diperbaiki sih," terangnya.
Pernyataan Purbaya ini memberikan sorotan kepada tantangan yang dihadapi oleh sektor BPR, yang memerlukan perhatian lebih dalam hal manajemen dan pengelolaan keuangan agar dapat menghindari risiko kebangkrutan.
Bprnews.id - Dalam setahun terakhir, sejumlah bank perekonomian rakyat (BPR) di Indonesia mengalami kebangkrutan, menandai tren yang semakin meningkat dalam industri ini.
Bangkrutnya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda) menjadi contoh terbaru, diikuti oleh sejumlah BPR lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha BPRS Mojo Artho karena pengelolaan yang dianggap tidak sehat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) turun tangan untuk melakukan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan dan melaksanakan likuidasi BPRS Mojo Artho.
"Pencabutan izin usaha BPRS Mojo Artho dilakukan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KADK) Nomor KEP-13/D.03/2024 tanggal 26 Januari 2024," ungkap Sekretaris Lembaga LPS, Dimas Yuliharto.
Ini menambah daftar panjang bank yang bangkrut selama setahun terakhir. Sejak awal 2023 hingga awal 2024, enam bank perekonomian rakyat mengalami kebangkrutan.
Sebelumnya, Koperasi BPR Wijaya Kusuma juga dilaporkan bangkrut pada awal 2024, dengan LPS meminta OJK mencabut izin usaha bank tersebut.
Selama tahun 2023, empat bank BPR juga telah bangkrut, termasuk BPR Persada Guna, BPR Indotama UKM Sulawesi, BPR Rakyat Bagong Inti Marga (BPR BIM), dan Perumda BPR KRI. Sejak tahun 2019, sudah tercatat 32 bank yang mengalami kebangkrutan di Indonesia.
Dalam konteks ini, meskipun industri BPR mencatatkan pertumbuhan positif, kualitas asetnya memburuk. Data dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) menunjukkan bahwa rasio Nonperforming Loan (NPL) BPR meningkat dari 8,49% pada November 2022 menjadi 10,52% pada November 2023.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo), Tedy Alamsyah, menjelaskan bahwa peningkatan kredit bermasalah disebabkan oleh pengurangan kredit restrukturisasi Covid-19, yang berdampak pada kenaikan jumlah NPL.
Walaupun kondisi ini dianggap sebagai situasional, para pakar menekankan perlunya BPR untuk menerapkan kebijakan yang ketat dan memiliki mekanisme penyaluran kredit yang baik.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, BPR didorong untuk meningkatkan kualitas aset dan menerapkan aktivitas perbankan yang setara dengan bank umum.
Amin Nurdin, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), menyoroti pentingnya digitalisasi dalam proses penyaluran kredit untuk meningkatkan kualitas aset BPR.
Meskipun investasi dalam digitalisasi bisa menjadi tantangan, hal ini dianggap perlu untuk menjaga stabilitas sektor keuangan di tingkat lokal.
Kondisi ini menyoroti perlunya upaya bersama dari regulator, pelaku industri, dan lembaga-lembaga terkait untuk meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan sektor perbankan rakyat di Indonesia.