Bprnews.id - Simpanan nasabah di perbankan kini didukung oleh kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang menjamin keamanannya bagi bank umum dan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) konvensional dan syariah.
Kepala Kantor Perwakilan LPS III Makassar, Fuad Zaen, menjelaskan bahwa LPS bertanggung jawab untuk menyediakan penjaminan simpanan atau pengaturan perlindungan simpanan bagi nasabah. "LPS menjamin simpanan nasabah sejak saat mereka menyimpan dananya di bank, dengan bank peserta membayar premi penjaminan kepada LPS," ungkap Fuad.
Prosesnya sederhana: jika suatu bank mengalami kegagalan, LPS akan membayar klaim kepada nasabah bank yang gagal tersebut. Namun, nasabah yang mendapat klaim harus memenuhi syarat layak bayar 3T, yaitu tercatat dalam pembukuan bank, tingkat bunga simpanan yang diterima tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS, dan tidak terindikasi melakukan atau terbukti melakukan tindakan fraud.
"Produk perbankan yang dijamin oleh LPS mencakup giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan lainnya. Untuk bank syariah, mencakup giro wadiah dan mudarobah, tabungan wadiah dan mudharabah, serta deposito mudharabah simpanan lain yang ditetapkan LPS," tambah Fuad.
Fuad juga menjelaskan bahwa LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah saat bank tidak dapat disehatkan oleh OJK. "LPS mulai hadir setelah bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. Kemudian, setelah bank tidak dapat disehatkan oleh OJK, LPS akan membuat keputusan apakah bank itu bisa diselamatkan atau tidak," jelasnya.
Dalam aturannya, nominal simpanan yang dijamin oleh LPS maksimal Rp2 miliar per nasabah per bank. Di Provinsi Sulawesi Selatan, total rekening yang dijamin penuh mencapai 17,34 juta rekening atau sebesar 99,97 persen.
Bprnews.id - Simpanan nasabah, terutama yang memiliki nilai di atas Rp5 miliar, terus mengalami pertumbuhan pesat. Seorang ekonom dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi pendorongnya.
Berdasarkan laporan Distribusi Simpanan Bank Umum yang dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana pihak ketiga (DPK) perbankan telah mencapai Rp8.668 triliun pada Maret 2024, naik 7,7% secara tahunan (year on year/yoy).
Pertumbuhan DPK didorong oleh meningkatnya simpanan nasabah dengan nilai di atas Rp5 miliar. Pada Maret 2024, simpanan nasabah tajir ini mencapai Rp4.672 triliun, tumbuh 9,1% yoy.
Pertumbuhan simpanan nasabah tajir juga lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu Februari 2024 yang sebesar 6,10% yoy. Simpanan nasabah tajir juga mendominasi tiering simpanan dengan porsi 53,9%.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan bahwa simpanan nasabah kelas atas ini tumbuh karena beberapa faktor.
"Kelompok ini yang memang memiliki modal dan mendapat pengembalian dari pasar modal, dari saham dan investasi lainnya di atas tingkat inflasi, termasuk juga dari obligasi. Itu kemudian ditranslasikan ke tabungannya yang semakin bertambah," ujarnya dalam acara Mandiri Macro and Market Brief - Thriving Through Transition pada Selasa (14/5/2024).
Dari sisi belanja, kelompok nasabah tajir juga cenderung untuk mengalihkan asetnya ke instrumen investasi. Selain itu, peningkatan pendapatan pada kelompok simpanan di atas Rp5 miliar, yang mayoritasnya adalah segmen korporasi, juga berkontribusi.
"Ada beberapa sektor seperti komoditas yang mengalami peningkatan. Pengembalian dari situ kemudian dialihkan ke tabungan, sehingga tabungan meningkat," ungkap Andry.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan bahwa pada periode akhir kuartal I/2024, tidak hanya simpanan di atas Rp5 miliar yang mengalami kenaikan, tetapi tabungan di bawah Rp100 juta juga naik sebesar 7,3% yoy. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 5,17% yoy.
Sementara jika dibandingkan dengan Maret 2023, terdapat kenaikan yang signifikan karena pada periode yang sama tahun lalu, rekening di bawah Rp100 juta hanya tumbuh 3,1% yoy.
"Ini menunjukkan bahwa perbaikan ekonomi juga mulai dirasakan oleh masyarakat, dan stabilitas ekonomi semakin kuat," ujar Purbaya dalam konferensi pers Hasil Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) II pada awal bulan ini (3/5/2024).
Bprnews.id - Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Barat melaporkan kinerja sektor keuangan hingga Maret 2024 menunjukkan kondisi yang stabil dengan pertumbuhan yang positif, serta risiko yang terjaga.
Menurut Kepala OJK Provinsi Jawa Barat, Imansyah, sektor yang mengalami pertumbuhan adalah perbankan. "Hingga Maret 2024, perbankan mengalami pertumbuhan positif, tercermin dari realisasi kredit Bank Umum sebesar Rp126 triliun atau tumbuh 7,88% (yoy)," jelas Imansyah.
Pertumbuhan kredit tersebut didukung oleh 63 entitas Bank Umum/Bank Umum Syariah dan 252 BPR/BPRS di Jawa Barat, dengan total pembiayaan mencapai Rp598 triliun.
Perlu dicatat bahwa jumlah tersebut setara dengan 8,25% dari total kredit nasional, menempatkannya sebagai yang terbesar kedua setelah Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
"Tingkat NPL terjaga di level 3,17%, membaik dari posisi bulan Maret 2023 yang mencapai 3,47% (yoy)," tambah Imansyah.
Kredit perbankan mencapai Rp625 triliun dengan pertumbuhan 9,21% (yoy), sementara pembiayaan Bank Umum Syariah mencapai Rp67,1 triliun, tumbuh 12,52% (yoy), dengan NPF terjaga pada level 2,76%.
Bank Umum yang berpusat di Jawa Barat menunjukkan kinerja pertumbuhan yang positif, dengan pertumbuhan aset sebesar 10,38%, dana pihak ketiga sebesar 13,51%, dan kredit sebesar 7,68%.
"Sementara itu, kinerja BPR dan BPRS tergolong moderat, tercermin dari pertumbuhan aset dan DPK secara berurutan sebesar 6,07% dan 5,94% (yoy)," ujar Imansyah.
Penyaluran kredit/pembiayaan BPR & BPR Syariah mencapai Rp23,11 triliun, dengan NPL gross dan NPF gross sebesar 11,46% dan 7,18%.
Total penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Nasional per Maret 2024 mencapai Rp49,9 triliun, di mana KUR di Jawa Barat mencapai Rp5,3 triliun yang disalurkan kepada 93.836 pelaku usaha.
"Berdasarkan skema pembiayaan KUR, sektor mikro memiliki porsi terbesar, mencapai Rp3,47 triliun atau 64,9% dibandingkan total penyaluran KUR di Jawa Barat," Imansyah menutup laporannya.
Bprnews.id - OK Bank melaporkan pencapaian yang positif pada kuartal I tahun 2024 dengan meraih laba bersih sebesar Rp4,31 miliar. Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan pendapatan bunga yang signifikan.
Menurut Wakil Direktur Utama OK Bank, Hendra Lie, laba bank ini terutama didukung oleh peningkatan pendapatan bunga kredit sebesar Rp216,59 miliar pada kuartal I-2024, naik dari Rp202,47 miliar di tahun sebelumnya.
Selain itu, pendapatan bunga dari penempatan pada Bank Indonesia dan bank lain juga mengalami peningkatan signifikan menjadi Rp9,25 miliar, meningkat dari Rp6,74 miliar di tahun 2023.
"Hingga akhir tahun 2024, kami optimis untuk mencapai target laba bersih sebesar Rp30,041 miliar," ungkap Hendra.
Dalam rapat umum pemegang saham tahunan/luar biasa (RUPST/LB), OK Bank menetapkan penggunaan laba bersih ini sebagai pencadangan dan laba ditahan untuk memperkuat struktur permodalan perseroan. Meskipun belum ada rencana pembagian dividen untuk periode 2023-2024.
OK Bank juga menargetkan pertumbuhan pada indikator keuangan perseroan seperti aset sebesar 7,65 persen, dana pihak ketiga (DPK) 11,75 persen, laba 4,85 persen, rasio kecukupan modal (CAR) 46,16 persen, dan net interest margin (NIM) 5,82 persen hingga akhir 2024.
Pada kuartal I-2024, penyaluran kredit bank mencapai Rp8,44 triliun, naik 6,08 persen dari tahun sebelumnya. OK Bank menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 11,40 persen atau sebesar Rp9,50 triliun pada akhir 2024.
Strategi perseroan untuk mencapai target pertumbuhan kredit meliputi kerja sama sindikasi dengan bank-bank lain, pengembangan produk dan skema kredit, ekspansi bisnis, memperluas jaringan, dan memberikan layanan modifikasi produk kepada klien.
"Dalam RUPSLB, OK Bank menyetujui pemberhentian dengan hormat Lim Cheol Jin dan mengangkat Sang Ton Sim sebagai Komisaris Utama serta menyetujui pengunduran diri Inhyo Wang sebagai Direktur Kredit dan IT," tambah Hendra.
Komposisi manajemen OK BANK setelah RUPSLB adalah: Komisaris Utama Sang Ton Sim, Komisaris Independen Sondang Martha Samosir, Komisaris Independen Chairudin, Direktur Utama Park Young Man, Wakil Direktur Utama Hendra Lie, Direktur Bisnis Vincentia M Djuniwati W, Direktur Kepatuhan Efdinal Alamsyah.
Bprnews.id - Menyikapi banyaknya Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Indonesia yang bangkrut hingga izin usahanya dicabut pada tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan kondisi serupa tidak akan terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam waktu dekat.
Kepala OJK Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar), Darwisman, mengatakan bahwa kinerja keuangan semua BPR di Sulsel setidaknya hingga kuartal I/2024 masih aman.
"Belum ada yang mengarah ke kondisi bangkrut sehingga potensi pencabutan izin pun juga masih nihil. Berdasarkan pemantauan kinerja keuangan hingga kuartal I/2024 terhadap BPR di wilayah Sulsel, kami melihat tidak terdapat yang berpotensi akan dicabut izin usahanya," ujar Darwisman ketika dihubungi, Selasa (14/5/2024).
Dia menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan OJK melakukan penutupan bank atau mencabut izinnya, antara lain jika perusahaan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha dan tidak dapat disehatkan kembali.
"Kondisi ini akan membuat kami menetapkan bank yang bersangkutan dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan kepada LPS. Apabila LPS menetapkan untuk tidak melakukan penyelamatan, maka OJK akan melakukan pencabutan izin usahanya," jelasnya.
Lebih lanjut, kriteria penetapan BPR dalam resolusi tercantum dalam POJK Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS. Indikator penilaian utama adalah rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dan Cash Ratio.
Sebagai informasi, sebaran jaringan kantor industri jasa keuangan di wilayah Sulawesi dan Maluku Papua (Sulampua) saat ini mencakup 2.346 kantor bank umum dan 84 kantor BPR/BPRS.
Diketahui sepanjang 2024 sudah ada 11 BPR bangkrut di Indonesia yang izin usahanya telah dicabut oleh OJK. BPR yang bangkrut baru-baru ini adalah PT BPR Dananta dari Kudus, yang dicabut izin usahanya oleh OJK mengacu Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-38/D.03/2024 tanggal 30 April 2024 tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Dananta.