Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali, bersama dengan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Perbarindo Bali, terus mendorong penguatan kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan mengadakan pelatihan implementasi Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat (SAK EP). Pelatihan tersebut dihadiri oleh BPR dari wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, bertempat di Hotel Haris Cokro Denpasar pada Selasa (20/2/2024).
Kepala OJK Provinsi Bali, Kristrianti Puji Rahayu, menekankan pentingnya pemahaman dan penerapan SAK EP bagi BPR. "BPR masih memegang peranan penting di sektor perekonomian, sehingga sikap adaptif dan optimis BPR diperlukan dalam menyikapi pemberlakuan SAK EP," ujarnya.
Kristrianti juga menyampaikan bahwa penerapan SAK EP akan berlaku efektif per tanggal 1 Januari 2025 dan akan memasuki fase parallel run pada bulan Juni 2024. Untuk menghadapi pemberlakuan tersebut, BPR perlu memperhatikan kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem perbankan yang handal, serta kesiapan Sumber Daya Manusia.
Selain itu, penguatan permodalan juga menjadi fokus OJK, sesuai dengan ketentuan kewajiban modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar pada akhir tahun 2024. Pelatihan ini diikuti oleh 131 BPR di Provinsi Bali, empat BPR dari Provinsi NTB, dan sembilan BPR dari Provinsi NTT.
Dalam pelatihan ini, narasumber dari Kantor Akuntan Publik Purwantono, Sungkoro, & Surja (Ernst & Young Indonesia) memberikan materi kepada peserta. Selain pelatihan kepada BPR, juga dilaksanakan sosialisasi untuk pengawas BPR di OJK Provinsi Bali agar memiliki pemahaman yang sama dengan BPR tentang SAK EP.
Data OJK per 31 Desember 2023 menunjukkan pertumbuhan positif total aset BPR serta penyaluran kredit di wilayah Bali, NTB, dan NTT. Ketahanan permodalan BPR juga terjaga dengan baik, tercermin dari capital adequacy ratio (CAR) yang berada di atas threshold.
Peningkatan penyaluran kredit di Provinsi Bali sejalan dengan meningkatnya aktivitas pariwisata serta sektor pendukungnya seperti sektor pertanian, yang berdampak positif pada kinerja BPR di wilayah tersebut. OJK terus memantau dan mendukung perkembangan sektor perbankan agar dapat berkontribusi maksimal pada pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.
Bprnews.id - Dalam suasana tegang yang melingkupi industri perbankan Indonesia, khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah tegas dengan mencabut izin usaha lima BPR sejak awal 2024. Langkah ini dimaksudkan untuk menstabilkan sektor perbankan dan memulihkan kepercayaan publik yang terkikis.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan, Dian Ediana Rae, OJK memiliki visi strategis untuk merampingkan jumlah BPR seiring dengan implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Dalam konferensi pers, Dian mengungkapkan bahwa ada tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan jumlah BPR di Indonesia.
"Pertama, kepemilikan BPR tidak lagi dapat dimonopoli oleh satu pihak. Kedua, adanya ketentuan modal minimum sebesar Rp6 miliar. Dan ketiga, kasus penipuan atau fraud yang menjadi penyebab banyak BPR harus ditutup," ungkap Dian.
Langkah OJK ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga kinerja sehat bank-bank, meskipun beberapa harus ditutup karena masalah struktural yang mendasarinya. Meski demikian, OJK dan LPS menjamin bahwa dana masyarakat di BPR tetap aman.
Penutupan BPR juga memberikan dampak positif dalam jangka panjang dengan memperkuat fondasi sektor perbankan. Melalui peningkatan kualitas tata kelola dan pengembangan sumber daya manusia, OJK berharap sektor BPR dapat menjadi lebih tangguh dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dengan dukungan regulasi yang progresif dan komitmen untuk tata kelola yang baik, sektor BPR diharapkan dapat melewati masa kritis ini dan berkontribusi lebih signifikan terhadap inklusi keuangan dan pembangunan ekonomi Indonesia.
Bprnews.id - Dalam dua bulan pertama tahun 2024, lima Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dilaporkan jatuh akibat berbagai masalah internal yang merusak manajemen mereka. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, membuka rahasia di balik kebangkrutan tersebut.
Kejadian tersebut menimpa BPS Wijayakusuma di Madiun, BPRS Mojoarto di Mojokerto, BPS Usaha Madani Karya Mulia (UMKM) di Solo, BPR Pasar Bhakti di Sidoarjo, dan terakhir Perumda BPR Bank Purworejo di Jawa Tengah, yang izinnya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 20 Februari 2024.
Purbaya menjelaskan bahwa meskipun kondisi perbankan secara keseluruhan baik, namun terdapat lima BPR yang telah bangkrut. "Kalau ada bank jatuh (BPR) itu sampai saat ini ada 5 yang sudah dicabut izin usahanya (CIU) tapi itu tidak melebihi rata-rata tahunan sebelum krisis, itu (rata-rata tahunan) biasanya sampai 8 BPR. Jadi tetap ada yang jatuh tapi kondisinya secara umum masih amat baik," ujar Purbaya kepada detikJabar.
Menurutnya, krisis global tidak berkontribusi pada kejatuhan BPR tersebut. Penyebab utama kebangkrutan bank, kata dia, adalah manajemen yang buruk. "Nggak ada (krisis ekonomi global) utamanya semua karena mismanagement aja, tapi kita bilang banknya dirampok pemiliknya," tambahnya.
Purbaya juga menyampaikan bahwa LPS memiliki dana sebesar Rp 211 triliun untuk menjaga nasabah jika ada BPR yang kolaps. Klaim nasabah BPR yang bangkrut telah disalurkan sebanyak 20-30 persen. LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dalam waktu paling lama 90 hari kerja atau sampai dengan 16 Juli 2024.
"Nasabah dapat melihat status simpanannya di kantor Perumda BPR Bank Purworejo atau melalui website LPS (www.lps.go.id) setelah LPS mengumumkan pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah Perumda BPR Bank Purworejo," kata Purbaya.
Bagi debitur bank, mereka masih dapat melakukan pembayaran cicilan atau pelunasan pinjaman di kantor Perumda BPR Bank Purworejo dengan menghubungi Tim Likuidasi LPS.
Bprnews.id - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memberikan penjelasan mengenai partisipasinya dalam rights issue PT Bank BTPN Tbk (BTPN).
BTPN berencana untuk meningkatkan modal melalui hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD II) atau rights issue senilai Rp6,73 triliun.
Terkait hal ini, BCA (BBCA) turut serta dalam rights issue saham BTPN untuk menjaga kepemilikan 1,03% di bank tersebut.
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menjelaskan beberapa alasan di balik keputusan perseroan tersebut. Salah satunya adalah sebagai inisiatif strategis bagi perusahaan.
"Pertama-tama, kami memiliki 1% saham awal di Sumitomo Mitsui Banking Corporation [SMBC]," ujarnya dalam acara tentang Pertumbuhan Berkelanjutan Ala BCA, pada Jumat (23/2/2024).
Jahja menambahkan bahwa seiring berjalannya waktu, SMBC melakukan investasi di BTPN yang kemudian berujung pada penggabungan. "Kami mempertahankan 1% saham tersebut," katanya.
Partisipasi BCA dalam rights issue BTPN juga merupakan bagian dari upaya aliansi untuk memenuhi kebutuhan interaksi.
"BCA adalah satu-satunya bank besar yang tidak memiliki kehadiran di luar negeri dibandingkan dengan beberapa rekan Himbara. Itu adalah pilihan kami," tambahnya.
Meskipun demikian, Jahja mengakui bahwa terkadang BCA memerlukan interaksi dengan beberapa negara seperti Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia. Oleh karena itu, strategi mereka adalah untuk melakukan aliansi.
Lebih lanjut, Jahja menyebut bahwa BCA menjalankan serangkaian aliansi dengan bank-bank Jepang.
"Kami dapat meminta bantuan dari mereka ketika nasabah membutuhkan informasi di Jepang," ungkapnya.
Jahja menjelaskan bahwa ketika SMBC membutuhkan 1% saham BCA, mereka ikut serta dalam rights issue.
"Ketika mereka menambahkan ekuitas untuk mempertahankan 1%, itu berarti kami juga ikut serta dalam rights issue," jelasnya.
Dalam prospektus tambahan BTPN, disebutkan bahwa BCA telah setuju untuk melaksanakan hak memesan efek terlebih dahulu (HMEDT) untuk mempertahankan kepemilikan 1% saham BTPN. BCA berhak atas 26,68 juta HMEDT dalam rights issue tersebut. Demikianlah penjelasan mengenai alasan BCA mengikuti rights issue BTPN sebesar Rp6,73 triliun.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Rudy Agus P. Raharjo, menjelaskan bahwa POJK terbaru ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK).
Rudy menyoroti pentingnya POJK ini dalam menghadapi tantangan penyeimbangan perlindungan bagi kedua belah pihak.
Rudy mencatat berdasarkan jumlah pengaduan yang diterima sejak 1 Januari 2022 hingga 26 Januari 2024, terdapat lima sektor dengan jumlah pengaduan tertinggi.
Sebanyak 19.000 pengaduan terkait sektor perbankan, diikuti oleh fintech P2P lending dengan 9.000 pengaduan, serta pembiayaan dan asuransi masing-masing dengan 7.000 dan 3.000 pengaduan.
"Kebanyakan pengaduan terkait perilaku petugas penagihan," ujarnya dalam acara Hitam Putih Bisnis Bank dan Multifinance Paska POJK Pelindungan Konsumen Nomor 22/2023, Kamis (22/2/2024).
Rudy berharap dengan adanya POJK ini, kedua belah pihak, baik calon konsumen maupun konsumen aktif, dapat merasakan keseimbangan dalam bertransaksi.
"Harapannya, PUJK dapat berkembang dengan baik sambil melindungi konsumen dan masyarakat," ungkapnya.
Oleh karena itu, regulator mulai menetapkan aturan terkait prosedur penagihan terhadap konsumen. Rudy menekankan pentingnya peran aktif PUJK dalam melakukan verifikasi data peminjam secara selektif untuk menghindari risiko gagal bayar.
"Kita tidak boleh mengizinkan debitur nakal untuk dilayani karena akan berdampak pada risiko di masa mendatang," tegasnya.
Dalam POJK Nomor 22 Tahun 2023 Pelindungan Konsumen, disebutkan bahwa debitur nakal tidak akan dilindungi sesuai dengan Pasal 6 POJK yang memberikan hak perlindungan hukum kepada PUJK dari tindakan konsumen yang tidak bertanggung jawab.
Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), menilai bahwa POJK ini bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen dan masyarakat serta menjaga stabilitas industri, tetapi tidak melindungi debitur nakal.
"Masyarakat juga harus turut serta dalam memerangi debitur yang tidak bertanggung jawab, karena ekonomi kita sangat bergantung pada mereka yang baik," tambahnya.
Fransiska Oei, Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & ESG Perbanas, menyoroti pasal 6 dan 7 dalam POJK yang memberikan hak PUJK untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak bertanggung jawab.
"Ini adalah langkah yang tepat dalam memastikan bahwa POJK ini tidak melindungi konsumen yang tidak bertanggung jawab," tandasnya.
Ristiawan Suherman, Presiden Direktur CIMB Niaga Finance, menekankan perlunya sosialisasi dan pemahaman masyarakat terhadap aturan POJK Pelindungan Konsumen ini.
"OJK juga berkomitmen untuk memantau implementasi POJK secara aktif, sehingga peraturan ini tidak hanya menjadi dokumen formal, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam meningkatkan perlindungan konsumen dan masyarakat secara keseluruhan di sektor jasa keuangan," jelasnya.