Standard Post with Image
BPR

Komunal Distribusikan Deposito BPR Sebesar Rp10,83 Triliun

BPRNews.id - Melalui produk Deposito BPR, fintech Komunal telah menyalurkan deposito senilai Rp10,83 triliun sejak tahun 2023 hingga Juni 2024. Dana ini didistribusikan kepada 376 BPR yang menjadi mitra Komunal di seluruh Indonesia.

"Untuk tahun 2024 saja, dari Januari hingga Juni, kami telah berhasil menyalurkan Rp3,8 triliun," ungkap Anggoro Putro Wibowo, Business Development Manager Deposito BPR by Komunal, pada Rabu (12/6).

Anggoro menjelaskan bahwa Komunal berkomitmen untuk mendigitalisasi produk simpanan dari Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di berbagai wilayah. Menurut data Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo), terdapat 1.445 unit BPR hingga akhir 2023.

“Kami menghadirkan aplikasi yang menawarkan pengalaman simpanan seperti investasi, sehingga dana kalian bisa berkembang lebih optimal. Ini adalah marketplace pertama untuk produk deposito BPR di Indonesia,” kata Anggoro.

Ia menambahkan bahwa bunga simpanan dari deposito di BPR tercatat lebih tinggi, yakni sekitar 6,75 persen, dibandingkan dengan bunga simpanan di bank konvensional yang hanya 4,25 persen. Selain itu, simpanan ini dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena tingkat bunga penjaminan masih sesuai dengan regulasi BPR.

Dengan inovasi ini, Anggoro berharap Komunal dapat terus mendukung pertumbuhan bisnis BPR nasional. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri BPR menunjukkan kinerja positif dari segi aset, mencapai Rp195 triliun atau meningkat 6,96 persen secara year on year (yoy) hingga akhir 2023.

 

Standard Post with Image
BPR

OJK Rencanakan Konsolidasi BPR dan BPD di Bawah Pemda

BPRnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggarap rencana ambisius untuk memperkuat sektor keuangan melalui konsolidasi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di bawah Pemerintah Daerah (Pemda). Dalam sebuah konferensi pers daring, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan langkah strategis ini.

Menurut Dian, konsolidasi ini merupakan bagian integral dari strategi OJK untuk memastikan keberlanjutan dan kekuatan finansial BPR/S. "Sesuai dengan roadmap, akan ada banyak konsolidasi guna memenuhi target modal inti minimum sebesar Rp6 miliar. Konsolidasi ini akan melibatkan BPR/S yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah," ujarnya dengan tegas.

Diskusi intensif juga telah dilakukan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk merancang langkah-langkah implementasi rencana ini. "Kami berbicara dengan berbagai pihak, termasuk Kemendagri, untuk merencanakan konsolidasi antara BPR yang dikelola oleh Pemda dengan BPD," tambah Dian.

Lebih lanjut, Dian menjelaskan bahwa tujuan utama dari konsolidasi ini adalah agar BPR dapat berfungsi secara optimal, khususnya dalam memberikan dukungan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di daerah. Dia juga menyoroti potensi besar yang dimiliki oleh BPD dalam konteks penyelamatan, terutama jika BPR menghadapi situasi darurat.

Dalam upaya untuk memperkuat sinergi antara BPR dan BPD yang dikelola oleh Pemda, OJK sedang mendorong penerapan skema kelompok usaha bersama (KUB), terutama bagi BPD yang belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 triliun. "Kami yakin akan ada sinergi yang kuat antara BPR dan BPD milik Pemda," tegas Dian.

Rencana konsolidasi ini tidak hanya diharapkan untuk memperkuat sektor keuangan di tingkat regional, tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah. OJK berkomitmen untuk terus mengawal proses ini guna memastikan keberhasilannya demi kestabilan dan kemakmuran ekonomi nasional.

   

Standard Post with Image
REGULATOR

OJK Sebut 1.206 BPR/BPRS Capai Modal Inti Rp6 Miliar, Proses Konsolidasi dan Penguatan Permodalan Lanjut

BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa per April 2024, sebanyak 1.206 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) telah berhasil mencapai modal inti minimum sebesar Rp6 miliar. Bahkan, dari jumlah tersebut, 103 BPR dan BPRS telah melampaui angka tersebut dengan memiliki modal inti di atas Rp50 miliar. Langkah ini sejalan dengan upaya OJK untuk menguatkan sektor BPR dan BPRS dari segala aspek.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, pencapaian ini merupakan bagian dari keseriusan OJK dalam mendorong penguatan kelembagaan BPR dan BPRS sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. "Ini adalah upaya kita untuk secara terus-menerus memperkuat kelembagaan BPR dan BPRS dari semua aspek, termasuk dalam proses konsolidasi dan penguatan permodalan," ujar Dian dalam konferensi pers bulanan OJK di Jakarta.

Sejak tahun 2022, OJK telah terus melakukan proses penggabungan dan peleburan BPR-BPRS. Hingga April 2024, sudah ada 48 BPR dan BPRS yang berhasil menyelesaikan proses konsolidasi, mengurangi jumlahnya menjadi 15. Dian juga menegaskan bahwa proses konsolidasi ini akan terus berlanjut seiring dengan upaya penguatan permodalan bagi BPR-BPRS yang masih belum mencapai target Rp6 miliar.

Lebih lanjut, Dian menyatakan bahwa OJK juga akan melakukan konsolidasi pada BPR-BPR yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda). "Seluruh BPR di setiap provinsi akan dikonsolidasikan menjadi satu BPR yang akan di bawah oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD)," jelasnya. Hal ini diharapkan dapat memperkuat peran BPR dalam mendukung UMKM di daerah masing-masing.

Dalam hal penutupan BPR yang bermasalah, OJK menegaskan bahwa tidak akan ada toleransi terhadap BPR yang menghadapi masalah fundamental seperti fraud. Dian memastikan bahwa penutupan BPR yang bermasalah tidak akan berdampak pada nasabah berkat peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Saya kira pendewasaan masyarakat kita terhadap bank semakin berkembang. Meskipun ada BPR yang mengalami kesulitan, ada lembaga seperti LPS, OJK, BI, dan KSSK yang siap menangani situasi tersebut," tambah Dian, menekankan bahwa sistem keuangan saat ini telah teruji dan dapat menghadapi tantangan dengan baik.

 

Standard Post with Image
BPR

OJK Mengancam Akan Menutup BPR yang Terlibat "Fraud"

BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa mereka sedang melakukan pemeriksaan intensif terhadap seluruh Bank Perekonomian Rakyat (BPR) untuk memastikan kepatuhan terhadap Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa OJK tidak akan mentoleransi adanya BPR bermasalah yang tidak segera diselesaikan. "Jika fundamentalnya sudah parah dan ada kecurangan, kami pasti akan menutupnya," tegas Dian dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner, Senin (10/6/2024).

Dian menekankan bahwa penutupan BPR yang bermasalah tidak akan merugikan nasabah. Sebaliknya, penutupan ini memungkinkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk berperan lebih efisien dan efektif dalam menjamin simpanan nasabah. "Masyarakat kini lebih tenang karena LPS memastikan pembayaran simpanan nasabah, bahkan tidak perlu antri lagi," jelasnya.

Menurut Dian, kebangkrutan bank adalah bagian dari dinamika industri yang tidak akan merugikan masyarakat. OJK mengklaim sistem penanganan bank yang bangkrut saat ini sudah lebih matang.

Data OJK menunjukkan bahwa jumlah BPR terus mengalami penurunan. Pada 2022, jumlah BPR tercatat sebanyak 1.608 entitas, menurun menjadi 1.575 entitas pada 2023, dan per April 2024, tercatat 1.562 BPR dan BPRS. Sebanyak 1.206 BPR/BPRS memiliki modal inti di atas Rp 6 miliar, dan 103 BPR/BPRS memiliki modal inti di atas Rp 50 miliar. Selain itu, 48 BPR/BPRS telah melakukan konsolidasi menjadi 15 BPR/BPRS.

OJK juga mencatat pencabutan 12 izin usaha BPR sepanjang tahun ini, termasuk BPR Jepara Artha Jepara, BPR Dananta di Kudus, dan BPR Bali Artha Anugrah di Bali. Pada 2023, OJK mencabut izin usaha empat BPR lainnya, seperti BPR Bagong Inti Marga (BIM) di Jawa Timur dan BPR Indotama UKM Sulawesi.

Dengan langkah tegas ini, OJK berkomitmen untuk menjaga integritas sektor perbankan dan melindungi nasabah dari praktik-praktik yang merugikan.

 

Standard Post with Image
BPR

OJK Ingatkan BPR dan BPRS untuk Memenuhi Modal Inti Rp 6 Miliar Menuju 2025

BPRNews.id  - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) untuk memenuhi persyaratan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar. Batas waktu untuk BPR adalah hingga akhir 2024, sementara BPRS memiliki tenggat waktu hingga akhir 2025.

Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Eddy Manindo Harahap, menyampaikan hal ini dalam sebuah acara di Batam, Kepulauan Riau. "Kami mensyaratkan modal inti minimum Rp 6 miliar bagi BPR pada tahun 2024 dan BPRS pada akhir 2025," kata Eddy.

Eddy menjelaskan bahwa ketentuan ini sudah diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 05/POJK.03/2015, sehingga BPR dan BPRS telah diberikan waktu sembilan tahun untuk mematuhi aturan tersebut. "Sejak 2015 hingga batas waktu 2024, sudah sembilan tahun diberikan, tetapi masih banyak BPR yang belum memenuhi ketentuan tersebut," tambahnya.

Eddy juga mengakui adanya tantangan yang dihadapi oleh BPR dan BPRS di Indonesia, terutama dalam hal permodalan dan disparitas. Masalah permodalan inilah yang mendasari diterbitkannya aturan tentang modal inti minimum.

Untuk mengatasi tantangan ini, OJK telah merilis roadmap BPR 2024-2027 pada Mei 2024. Roadmap ini merupakan bagian dari upaya OJK untuk memperkuat sektor perbankan sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Roadmap ini diharapkan dapat memperkuat BPR dan BPRS sehingga mampu melakukan berbagai aktivitas perbankan seperti IPO dan masuk ke sistem pembayaran.

"Jika sudah masuk ke sistem pembayaran, BPR akan memiliki kesamaan dengan bank umum, tetapi untuk mencapai itu, kita harus memperkuat BPR terlebih dahulu," jelas Eddy.

Selain itu, OJK juga telah menerbitkan Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah dan Pedoman Kerja Sama Channeling antara BPRS dengan Fintech P2P Financing pada Mei lalu. Ini merupakan langkah lanjutan setelah sebelumnya OJK menerbitkan Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, kedua akad tersebut murabahah dan musyarakah merupakan yang paling dominan dalam pembiayaan perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan data per Februari 2024, pembiayaan melalui kedua akad ini mencapai hampir 92% dari total pembiayaan perbankan syariah dengan musyarakah sebesar 47,91% dan murabahah 43,88%.

Dian menekankan bahwa pedoman ini adalah salah satu amanat dari UU P2SK untuk mendukung pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang inovatif dan berdaya saing. "Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan produk perbankan syariah yang sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian," ujar Dian.

Melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027, OJK berupaya mendorong penguatan karakteristik perbankan syariah dengan pengembangan produk-produk yang inovatif dan memiliki keunikan syariah, sehingga bisa menjadi pilihan utama masyarakat.

 

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News