BPRNews.id - Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor eksternal maupun struktural internal. Implementasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dipandang sebagai langkah signifikan yang memberikan kekuatan baru bagi BPR.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mencatat bahwa dalam jangka pendek, dinamika global dan tren digitalisasi tetap menjadi tantangan utama yang akan mempengaruhi perkembangan BPR ke depan.
"Akselerasi digitalisasi produk dan layanan bagi BPR dan BPRS adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya saing mereka dengan lembaga jasa keuangan lainnya," kata Dian dalam pernyataan tertulis yang dikutip pada Selasa (18/6/2024).
Selain itu, sinergi dengan lembaga jasa keuangan lainnya, terutama dalam pengembangan produk dan layanan, menjadi kunci untuk kemajuan bisnis BPR/BPRS.
Dian juga mengungkapkan bahwa OJK telah menerbitkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan BPR/S pada tahun 2024. Pilar kedua dari roadmap ini adalah Akselerasi Digitalisasi BPR/S, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, integritas, serta daya saing melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis dan operasional BPR/S.
"Pemanfaatan teknologi informasi adalah keharusan di era digital saat ini. Hal ini harus dilakukan baik di sisi operasional maupun bisnis, dengan dukungan SDM yang berkualitas dan infrastruktur teknologi yang memadai," tambahnya.
Meski menghadapi berbagai tantangan, kinerja industri BPR dan BPRS masih terjaga dengan baik, menunjukkan pertumbuhan yang berkelanjutan. Per Maret 2024, total aset tumbuh sebesar 7,34% yoy menjadi Rp216,73 triliun. Pada periode yang sama, penyaluran kredit dan pembiayaan meningkat 9,42% yoy menjadi Rp161,90 triliun, sementara penghimpunan dana pihak ketiga tumbuh 8,60% yoy mencapai Rp158,8 triliun.
Beberapa pemain BPR pun mengakui pentingnya digitalisasi untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang beragam dan meningkatkan profitabilitas. Direktur BPR Supra Artapersada, Jeffry Thambunanto, menyatakan bahwa Bank Supra telah mengembangkan layanan digital bagi nasabah melalui mobile banking dan internet banking.
"Kami menyediakan akses layanan keuangan kepada nasabah pedagang pasar tanpa harus datang ke kantor cabang dengan menyediakan ATM setor tarik," ujarnya kepada Bisnis.
Sejalan dengan itu, Direktur Utama BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha, menekankan pentingnya fleksibilitas dan adaptabilitas terhadap perubahan dalam lingkungan bisnis. Ia menyebut bahwa segmentasi pasar yang tepat, teknologi dan digitalisasi, peningkatan layanan pelanggan, serta membangun jaringan kolaborasi adalah kunci pertumbuhan bisnis.
"BPR Hasamitra terus menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga, seperti asosiasi bisnis lokal, lembaga pendidikan, dan lembaga non-profit, untuk memperluas jaringan pelanggan dan mendapatkan dukungan dalam pemasaran dan pengembangan," ungkapnya.
Dengan berbagai strategi ini, industri BPR diharapkan dapat terus bertumbuh dan beradaptasi menghadapi tantangan masa depan.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklarifikasi mengenai aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana oleh BPR dan BPR Syariah yang berada dalam status pengawasan khusus.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyatakan bahwa OJK telah merespon temuan ini dan terus bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagai langkah tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 28 Tahun 2023 yang mengatur status dan tindakan pengawasan terhadap BPR dan BPR Syariah.
Peraturan tersebut mengklasifikasikan pengawasan BPR dan BPR Syariah ke dalam tiga status: pengawasan normal, bank dalam penyehatan (BDP), dan bank dalam resolusi (BDR).
“OJK menerapkan intensitas pengawasan yang berbeda pada setiap status BPR dan BPR Syariah. Dalam beberapa kasus, OJK dapat memberlakukan larangan penghimpunan dana, tergantung situasi,” jelas Dian dalam pernyataan tertulis pada Minggu (16/6/2024).
Larangan tersebut tidak selalu diterapkan pada semua BPR yang sedang dalam penyehatan, melainkan situasional dan selektif.
Namun, berdasarkan peraturan, OJK memiliki wewenang untuk melakukan tindakan pengawasan, termasuk pembatasan kegiatan usaha bagi BPR/S yang mengalami kesulitan, seperti melarang penghimpunan dana baru.
“Tindakan ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak proses penyehatan atau resolusi yang sedang berlangsung,” tambah Dian.
Sebelumnya, BPK melalui Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II/2023 (IHPS) telah mengkaji proses pengawasan OJK terhadap penghimpunan dan penyaluran dana oleh BPR dan BPR Syariah.
Dalam laporan IHPS, BPK menyatakan bahwa OJK belum sepenuhnya memantau aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana oleh BPR/BPRS yang berada dalam status pengawasan khusus (BDPK).
“Masih terdapat penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan deposito sebesar Rp2,43 miliar pada tiga BPR/BPRS yang berstatus BDPK,” tulis BPK dalam laporannya yang dikutip Rabu (5/6/2024).
BPRNews.id - PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng), yang sebelumnya diusulkan menjadi induk Kelompok Usaha Bank (KUB), telah memutuskan untuk tidak mengambil peran tersebut. KUB sendiri dibentuk untuk mendukung BPD lain yang belum memenuhi persyaratan modal inti yang ditetapkan.
Pada akhir tahun lalu, Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Yuddy Renaldi, menyebutkan bahwa ada empat BPD yang ditunjuk sebagai bank jangkar, yaitu PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB), PT BPD Jawa Timur Tbk (Bank Jatim), PT Bank DKI, dan Bank Jateng. Keempat bank tersebut memiliki kecukupan modal yang kuat dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) di atas 20%.
Namun, keputusan terbaru mengonfirmasi bahwa Bank Jateng tidak akan menjadi induk KUB. Direktur Bisnis Kelembagaan, Treasuri, dan Unit Usaha Syariah Bank Jateng, Ony Suharsono, menjelaskan bahwa fokus Bank Jateng saat ini adalah pada penguatan internal di wilayah Jawa Tengah. "Kami fokus pada pengembangan ekosistem pemerintah daerah (Pemda), terutama digitalisasi Pemda," ujar Ony.
Daripada membentuk KUB, Bank Jateng berencana untuk menggabungkan Bank Perekonomian Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) di Jawa Tengah. Ada sekitar 34 BPR BKK yang akan digabungkan dengan Bank Jateng. Rencana ini sejalan dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai single presence policy, yang mengarahkan BPR milik pemerintah daerah untuk menjadi satu pemegang saham melalui BPD setempat.
"Kami saat ini sedang melakukan feasibility study. Rencananya, pada 2025 atau paling lambat 2026, BPR BKK di Jawa Tengah akan merger dengan Bank Jateng," jelas Ony.
Moch Amin Nurdin, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), berpendapat bahwa keputusan Bank Jateng untuk tidak menjadi induk KUB terkait dengan isu permodalan.
"Untuk menjadi induk KUB, diperlukan modal yang sangat kuat. Jika tidak, lebih baik batal daripada menghadapi masalah di kemudian hari," kata Amin. Data keuangan kuartal I-2024 menunjukkan bahwa total ekuitas Bank Jateng sebesar Rp 9,84 triliun, turun dari Rp 10,68 triliun pada akhir Desember 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menekankan bahwa pembentukan KUB bertujuan agar BPD mampu menghadapi tantangan ekonomi dengan lebih baik dan meningkatkan ketahanan serta daya saing. Saat ini, tiga BPD yang siap menjadi induk KUB adalah Bank BJB, Bank Jatim, dan Bank DKI. "Selain itu, ada Bank Umum di luar BPD yang sedang dalam proses penjajakan untuk menjadi calon bank induk KUB," tambah Dian.
Keputusan Bank Jateng untuk fokus pada penguatan ekosistem Pemda di Jawa Tengah merupakan langkah strategis yang diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan layanan publik melalui digitalisasi.
BPRNews.id - Dengan semakin populernya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), transaksi dompet digital mengalami peningkatan signifikan. Namun, industri ini tetap menghadapi tantangan besar dalam bersaing dengan bank-bank besar yang memiliki modal dan infrastruktur yang lebih kuat.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa dompet digital harus bersaing dengan bank yang memiliki jaringan keuangan yang kuat dan teknologi digital yang terus berkembang. "QRIS juga dapat dimanfaatkan oleh bank untuk melakukan pembayaran langsung," ujar Nailul pada Senin (17/6).
Pengguna dompet digital masih bergantung pada bank untuk melakukan top-up saldo. Oleh karena itu, menurut Nailul, penyedia layanan dompet digital harus memperkuat kerja sama dengan perbankan digital untuk memperluas akses dan layanan bagi masyarakat.
Meskipun demikian, dompet digital memiliki keunggulan yang dapat dimanfaatkan untuk bersaing dalam sistem pembayaran digital, yaitu ekosistem digital yang terintegrasi dengan berbagai layanan digital lainnya. Potensi ini dapat dieksplorasi lebih lanjut agar layanan dompet digital dapat berkembang lebih pesat.
Dari sisi regulasi, Bank Indonesia telah menjalankan perannya dengan baik dalam pengaturan QRIS. Nailul menegaskan bahwa aturan yang terkait dengan uang masyarakat memang seharusnya diatur oleh pihak yang berwenang. "Tidak perlu dijadikan self-regulation oleh industri," imbuhnya.
Penguatan ekosistem digital juga menjadi salah satu strategi PT Fintek Karya Nusantara atau LinkAja untuk meningkatkan transaksi. Chief Executive Officer LinkAja, Yogi Rizkian, menyatakan bahwa pihaknya optimistis jumlah transaksi dapat meningkat lebih dari 60% hingga akhir tahun dibandingkan dengan pencapaian tahun 2023. Untuk mencapai target tersebut, LinkAja akan menerapkan berbagai strategi, termasuk fokus pada model bisnis business to business to consumer (B2B2C).
Pada sisi B2B, LinkAja berfokus pada end-to-end value chain dari sisi tradisional maupun digital. Sementara pada sisi B2C, mereka mengutamakan akuisisi pengguna berbiaya rendah dan retensi pengguna.
"Ekosistem BUMN tetap menjadi keunggulan kompetitif utama LinkAja sebagai solusi keuangan digital yang mendukung pengembangan infrastruktur pembayaran bersama dengan berbagai lini bisnis BUMN," ujar Yogi.
LinkAja juga terus berkolaborasi dengan berbagai perusahaan di bawah Kementerian BUMN sebagai penyedia layanan penyaluran insentif dan platform penukaran poin loyalitas. Hal ini memungkinkan LinkAja mendapatkan basis pengguna besar tanpa biaya akuisisi dan retensi yang tinggi.
Dengan mengoptimalkan strategi tersebut, Yogi yakin LinkAja dapat melanjutkan kinerja positif, baik dari jumlah pengguna aktif maupun nilai transaksi. Hingga Mei 2024, LinkAja mencatatkan 3,7 juta transaksi QRIS, meningkat hampir 20% dibanding April 2024.
Yogi menambahkan bahwa peningkatan transaksi QRIS disebabkan oleh adopsi dan penetrasi transaksi digital yang semakin tinggi karena kemudahan dan keamanan bertransaksi yang ditawarkan.
PT Astra Digital Arta atau AstraPay juga menunjukkan performa yang kuat dengan pencapaian gross transaction value (GTV) sebesar Rp 19,03 triliun selama lima bulan pertama tahun ini. "Target GTV hingga akhir tahun ini mencapai Rp 52,59 triliun," kata Chief Executive Officer AstraPay, Rina Apriana.
Rina menyebutkan bahwa total pengguna AstraPay hingga Mei 2024 telah mencapai lebih dari 13 juta dengan jumlah transaksi mencapai 32 juta kali. Mereka menargetkan bisa meraih 15 juta pengguna hingga akhir tahun. Selain itu, dengan meningkatnya adopsi teknologi keuangan, penggunaan QRIS sebagai salah satu metode pembayaran digital juga semakin meluas.
Dengan terus memperkuat ekosistem digital dan meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak, penyedia layanan dompet digital diharapkan dapat bersaing lebih efektif dengan bank besar, memberikan lebih banyak kemudahan dan keamanan bagi para pengguna.’
BPRNews.id - Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengadakan evaluasi kinerja untuk seluruh BPR dan BPRS di wilayah tersebut pada tahun 2024.
Langkah ini diambil untuk terus memperkuat sinergi Sektor Jasa Keuangan (SJK) secara berkelanjutan. Selain itu, OJK Kepri juga mengadakan Sosialisasi Implementasi Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat (SAK-EP).
Kepala OJK Kepri, Sinar Dananjaya, menyatakan bahwa BPR dan BPRS di Kepri kembali mencatat kinerja positif. Total aset mereka meningkat sebesar Rp 590 miliar (5,80 persen ytd) dari Rp 10,169 miliar pada Desember 2023 menjadi Rp 10,759 miliar pada April 2024.
Peningkatan total aset ini didukung oleh kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 501 miliar (6,45 persen ytd) dari Rp 7,779 miliar (Desember 2023) menjadi Rp 8,280 miliar (April 2024). Kontribusi DPK BPR/BPRS Kepri terhadap DPK BPR/BPRS Nasional mencapai 5,13 persen.
"Sebagian besar dana nasabah ditempatkan dalam Deposito sebesar Rp 7,772 miliar (88,4 persen dari total penghimpunan dana) dan Tabungan sebesar Rp 1,009 miliar (11,56 persen)," ujar Sinar pada Jumat (14/6/2024).
Sinar melanjutkan, peningkatan DPK tersebut sejalan dengan pertumbuhan penyaluran kredit BPR/BPRS yang mencatat kinerja baik setelah berakhirnya masa relaksasi Covid-19. Penyaluran kredit tumbuh 6,45 persen ytd, melebihi pertumbuhan Kredit Nasional sebesar 2,32 persen ytd.
Penyaluran kredit BPR/BPRS Kepri per April 2024 mencapai Rp 8,280 miliar dengan kontribusi 5,13 persen terhadap total kredit BPR/BPRS Nasional. "Sektor rumah tangga, konstruksi, serta perdagangan besar dan eceran menjadi sektor dengan penyaluran kredit terbesar," tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Sinar Dananjaya juga menyampaikan isu strategis kepada BPR dan BPRS di Kepri, termasuk kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar yang harus dipenuhi sebelum 31 Desember 2024.
"Selain itu, perubahan nomenklatur 'Bank Perkreditan Rakyat' menjadi 'Bank Perekonomian Rakyat' dan 'Bank Pembiayaan Rakyat Syariah' menjadi 'Bank Perekonomian Rakyat Syariah' harus diselesaikan dalam waktu maksimal 2 tahun sejak UUP2SK diundangkan," tegas Sinar Dananjaya.
Pada kesempatan yang sama, Patricia, Analis Eksekutif Direktorat Pengaturan Prudensial dan Integritas Sistem Keuangan OJK, menjelaskan bahwa sosialisasi implementasi SAK-EP kepada seluruh BPR/BPRS di Kepri bertujuan untuk meningkatkan pemahaman atas SAK-EP yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025.
Peralihan dari sistem akuntansi SAK-ETAP ke SAK-EP bertujuan untuk meningkatkan kualitas pencatatan keuangan yang lebih adaptif dan mendukung operasional BPR/BPRS menjadi lebih optimal.
"Ke depan, OJK Provinsi Kepri bersama BPR/BPRS di Kepri akan terus bersinergi memperkuat Industri Jasa Keuangan agar selalu berkontribusi kepada masyarakat dengan tetap mematuhi ketentuan yang berlaku," kata Patricia.