BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Tengah terus mendorong Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) untuk memperkuat modal melalui konsolidasi, guna meningkatkan daya saing dan kontribusi mereka terhadap perekonomian.
Hal ini disampaikan oleh Kepala OJK Jawa Tengah, Sumarjono, dalam sambutannya pada acara "Evaluasi Kinerja BPR/S dan Pertemuan Forum Pemegang Saham Pengendali (PSP) Tahun 2024" yang dihadiri oleh PSP BPR/BPRS se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“BPR memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi daerah. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kapasitas yang memadai untuk menghadapi tantangan internal dan eksternal, serta memanfaatkan peluang baru, terutama dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK),” ungkap Sumarjono.
Untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang tersebut, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2024 pada 25 April 2024, yang mengatur tentang penguatan modal melalui konsolidasi BPR/BPRS.
Peraturan tersebut menetapkan bahwa BPR atau BPR Syariah yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali (PSP) yang sama dan berada dalam satu wilayah pulau, wajib melakukan konsolidasi melalui penggabungan atau peleburan.
Batas waktu untuk pelaksanaan penggabungan atau peleburan ini adalah paling lambat pada 30 April 2026 untuk BPR/BPRS milik PSP non-pemda, dan 30 April 2027 untuk BPR/BPRS milik pemda.
BPR/BPRS yang memenuhi syarat konsolidasi ini harus menyusun rencana tindak lanjut melalui penggabungan atau peleburan dan menyampaikannya kepada OJK paling lambat pada 30 Agustus 2024.
Selain memperkuat modal, perbaikan tata kelola juga menjadi perhatian utama sebagaimana tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 9 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 16 Juli 2024. Peraturan ini mendorong BPR/BPRS untuk tumbuh dan berkembang menjadi lembaga keuangan yang memiliki integritas, adaptif, dan berdaya saing dalam memberikan layanan keuangan, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil di wilayah mereka.
“Penguatan tata kelola ini juga sejalan dengan kebijakan konsolidasi bagi BPR dan BPR Syariah yang berada di bawah kepemilikan PSP yang sama, sehingga dapat menjadi industri yang lebih efisien dan berkontribusi positif bagi perekonomian dan masyarakat,” jelas Sumarjono.
Acara evaluasi kinerja BPR/S dan Pertemuan Forum PSP tersebut berfungsi sebagai wadah untuk berbagi informasi dan berdiskusi dengan para PSP, sekaligus sebagai upaya dalam meningkatkan modal, tata kelola, dan kinerja BPR/S agar industri BPR dan BPR Syariah semakin kompetitif dan memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian dan masyarakat.
OJK meminta dukungan dari pemegang saham, pengurus, dan semua pemangku kepentingan BPR/S dalam proses konsolidasi ini. OJK juga menegaskan bahwa tidak perlu khawatir terkait proses perizinan, termasuk Penilaian Kemampuan dan Kepatutan pada BPR hasil konsolidasi.
“Dengan adanya konsolidasi BPR/S, dana simpanan nasabah tetap dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai ketentuan yang berlaku,” tegas Sumarjono.
BPRNews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memenangkan gugatan terkait Mandatory Convertible Bond (MCB) yang diterbitkan oleh Bank Century, sekarang Bank JTrust Indonesia. Dengan putusan ini, LPS berhasil menghemat sekitar Rp6,6 triliun dari gugatan tersebut.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan dalam konferensi pers, “Pada 19 Juni 2024, Mahkamah Agung Mauritius mengabulkan tuntutan untuk mengeluarkan LPS serta mantan pejabatnya, Kartiko Wirjoatmodjo dan Fauzi Ichsan, dari perkara ini. Jika kami kalah, kami bisa kehilangan sekitar Rp6,6 triliun. Dengan putusan ini, kami terbebas dari risiko tersebut.”
Purbaya menjelaskan bahwa LPS telah mengajukan surat keberatan kepada pengadilan, yang juga mengizinkan pemanggilan pihak-pihak dari luar Mauritius. “Pengadilan Mauritius sebenarnya tidak berwenang memeriksa perkara ini, dan pemanggilan pihak dari Indonesia tidak sah karena tidak mengakui prinsip hukum Indonesia,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan, “Saat saya masuk LPS, saya menemukan anggaran tahunan sekitar Rp6 miliar untuk masalah hukum terkait Bank Century. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.”
Purbaya menegaskan bahwa LPS akan terus berupaya mengembalikan dana sebesar US$155 juta yang merupakan hak LPS. “Kami berhak atas US$155 juta dan akan terus mengejar dana tersebut, termasuk dengan upaya penyitaan dan pengembalian aset-aset milik pemegang saham pengendali dan mantan pengurus Bank Century,” tambahnya.
Gugatan ini berkaitan dengan MCB yang dimiliki salah satu penggugat dan diterbitkan oleh Bank Century. Para penggugat berpendapat bahwa mereka seharusnya menjadi pemenang lelang LPS pada Bank Mutiara, hasil transformasi Bank Century. Bank Mutiara mendapatkan Penyertaan Modal Sementara (PMS) setelah diambil alih oleh LPS pada 2008.
Selain menuntut sebesar US$408 juta, para penggugat juga mengajukan permohonan Mareva Injunction untuk menyita aset milik tergugat senilai US$400 juta. Penggugat meliputi First Global Funds Limited PCC (FGFL), Weston International Asset Recovery Company Limited (WIARCO), Weston Capital Advisor, Inc (WCAI), Weston International Asset Recovery Corporation Inc (WIARCI), dan Weston Capital Advisor, Inc (WICL).
Purbaya menutup pernyataannya dengan keyakinan, “Kasus Bank Century melibatkan berbagai pihak internasional, namun dengan kerjasama yang erat antara LPS dan Kemenkumham, kami yakin bisa memenangkan kasus ini.”
BPRNews.id - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM) Teten Masduki mengungkapkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai skema pembiayaan berbasis credit scoring atau skor kredit. Teten mengatakan, "Alhamdulillah perkembangan sudah bagus. Credit scoring, kami kemarin sudah bicara dengan Menteri Keuangan, kami bicara dengan OJK. Dan di OJK juga sedang disiapkan infrastruktur kebijakan yang memungkinkan bisa terlaksana dengan credit scoring."
Teten menjelaskan bahwa meskipun credit scoring sudah diterapkan di perbankan dalam skala kecil, ia mengusulkan penambahan data alternatif seperti data telepon dan listrik untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi pelaku UMKM. "Dengan credit scoring, artinya ada data alternatif di luar data historik kredit, seperti data telepon, data PLN (listrik). Dengan dua tambahan data itu, bisa makin banyak UMKM yang menerima kredit perbankan," ujarnya.
Saat ini, baru sekitar 19% pelaku UMKM yang bisa mengakses pembiayaan perbankan, sedangkan Presiden Joko Widodo menargetkan 30% pelaku UMKM mendapatkan kredit pada tahun 2024. Teten optimis bahwa target tersebut bisa tercapai jika usulan penambahan data diterapkan. "Kita optimis, kita sudah, ini scientific ya, karena sudah digunakan di 145 negara. Nah tapi para UMKM-nya harus sudah mulai pencatatan, ini juga secara digital, supaya nanti bisa mudah dilakukan track record digital mengenai kesehatan usaha," pungkasnya.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan tanggapan terkait rencana pemerintah untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit, khususnya untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) baru mengenai hal tersebut. "Enggak perlu," tegas Mahendra saat ditemui di Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (Fekdi) dan Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2024.
Mahendra menjelaskan bahwa OJK sudah memiliki aturan untuk restrukturisasi kredit dalam kondisi normal melalui POJK Nomor 40 Tahun 2019. Menurutnya, jika perpanjangan restrukturisasi kredit KUR yang diusulkan pemerintah berlaku untuk periode akad 2022, maka hal tersebut sudah memasuki masa normal, bukan lagi masa pandemi Covid-19. "Kalau benar 2022, itu kembali lagi sudah masuk periode normal yang bisa dilakukan dengan pengaturan yang sudah ada. Jadi, enggak ada masalah sama sekali," ujarnya.
Mahendra juga menambahkan bahwa pemerintah memang berencana untuk memberikan perhatian khusus pada restrukturisasi KUR selama periode tertentu. "Hal itu yang sedang dimatangkan tim Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama dengan Kementerian Keuangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM," jelasnya.
BPRNews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berencana mengembangkan sistem informasi dan teknologi (IT) untuk membantu Bank Perekonomian Rakyat (BPR) menjadi lebih kompetitif dan maju di era digital.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan hal ini saat menghadiri Sosialisasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) di Semarang pada hari Rabu. "Kami akan mengembangkan sistem IT yang bisa dimanfaatkan oleh BPR," ujar Purbaya.
Menurutnya, tidak semua BPR memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengembangkan sistem IT secara mandiri. "Beberapa BPR tidak memiliki dana yang cukup untuk mengembangkan sistem IT sendiri. Oleh karena itu, kami akan menciptakan kerangka sistem IT yang dapat digunakan bersama oleh BPR," jelasnya.
LPS berencana untuk mulai mengujicobakan sistem IT ini tahun depan dengan melibatkan sekitar 100 BPR. "Jika ujicoba ini sukses, kami akan memperluasnya ke seluruh BPR yang tertarik untuk bergabung," tambahnya. Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk membantu BPR bersaing dengan bank komersial dan bank digital lainnya, serta agar tidak tertinggal di era digitalisasi.
Purbaya juga menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, LPS telah menangani beberapa masalah di BPR, terutama yang terkait dengan penyelewengan dana atau "Fraud". "Dalam beberapa tahun terakhir, kami hanya menangani masalah BPR yang berkaitan dengan penggelapan dana, bukan karena kesalahan manajemen," ungkapnya.
Di Indonesia, terdapat sekitar 1.450 BPR, dan sebagian besar menunjukkan kinerja yang baik, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.