Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang melakukan tinjauan ulang terhadap Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 2021-2025.
Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memperkuat tata kelola BPR sebagai respons terhadap banyaknya BPR yang mengalami kebangkrutan pada tahun 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa tinjauan tersebut adalah salah satu langkah OJK dalam merespons kondisi tersebut. Pihaknya berharap dapat meluncurkan Roadmap BPR yang telah diperbarui dalam waktu dekat.
“Saat ini OJK sedang melakukan revisit Roadmap BPR dan dalam tahap melaksanakan survei. Dalam waktu dekat diharapkan OJK sudah dapat meluncurkan Roadmap ini,” kata Dian dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.
Pada tahun 2023, empat BPR ditutup karena kasus penipuan (fraud), dan pada awal tahun 2024, satu BPR kehilangan izinnya. Dian menjelaskan bahwa praktik penipuan menjadi faktor utama di balik penutupan banyak BPR di Indonesia.
OJK juga melakukan upaya lainnya, termasuk penguatan pengawasan melalui pelaksanaan lokakarya tipologi dan penanganan penyimpangan ketentuan perbankan. Selain itu, OJK berupaya memperkuat permodalan dan konsolidasi BPR sebagai langkah pencegahan kebangkrutan bank.
“Selanjutnya OJK juga akan memperkuat ketentuan dengan menerbitkan POJK konsolidasi yang mengatur mengenai Single Present Policy,” ujar Dian.
Dian menyebut bahwa meskipun beberapa BPR kehilangan izin, jumlah BPR di Indonesia mengalami penurunan akibat konsolidasi terkait dampak COVID-19.
Namun, beberapa indikator kinerja industri keuangan BPR masih menunjukkan pertumbuhan positif, seperti aset, kredit pembiayaan, dan dana pihak ketiga (DPK).
OJK terus meningkatkan fungsi pengawasannya untuk memastikan bahwa BPR menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Proses merger BPR/S hingga saat ini masih terus berlangsung terutama untuk BPR/S dengan kepemilikan yang sama dalam rangka untuk sinergi, efisiensi dan meningkatkan kapasitas pembiayaan," tutur Dian.
Selain itu, penguatan tata kelola BPR juga didorong melalui konsolidasi atau merger BPR. Hingga tahun 2023, OJK telah memberikan persetujuan konsolidasi untuk 38 BPR melalui merger di berbagai wilayah di Indonesia.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan optimisme bahwa 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang masih bermodal cekak akan dapat memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum hingga akhir tahun.
Batas waktu untuk pemenuhan modal inti minimum bagi BPD adalah 31 Desember 2024. Saat ini, dua BPD telah memiliki rencana untuk memenuhi modal inti melalui setoran mandiri, sementara sembilan BPD lainnya berencana membentuk Klaster Usaha Bersama (KUB) dengan perusahaan atau bank induk lainnya.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, sebagian besar BPD yang berencana membentuk KUB telah mencapai tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), dan satu BPD sudah mengajukan izin kepada OJK untuk menjadi anggota KUB.
“Perkembangan proses pembentukan KUB oleh 9 BPD saat ini masih berjalan sesuai dengan rencana,” ujar Dian, Kamis (11/1).
OJK telah mensyaratkan bahwa bank induk KUB harus memiliki kecukupan modal dan kinerja yang baik.
“Komunikasi antara OJK dan Kemendagri juga terus dilakukan secara intensif untuk mendorong BPD mempercepat proses pembentukan KUB,” tandasnya.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa bank induk memiliki komitmen dan kapasitas untuk mendukung anggota KUB dalam hal permodalan, likuiditas, dan peningkatan kapabilitas dan kapasitas bank anggota KUB.
Peningkatan ini mencakup aspek-aspek seperti manajemen risiko, tata kelola, sumber daya manusia, teknologi informasi, dan pengembangan bisnis khususnya dalam penyaluran kredit produktif untuk mendukung perekonomian.
OJK terus berkomunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mempercepat proses pembentukan KUB oleh BPD.
Bprnews.id - OJK Kalimantan Selatan menyambut positif kabar bahwa Bank Kalsel optimis dapat memenuhi Modal Inti sebesar Rp 3 triliun pertengahan tahun 2024.
Ketentuan OJK menyatakan bahwa per 31 Desember 2024, seluruh bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah diharuskan memiliki modal minimum sebesar Rp 3 triliun.
"Jika modal tidak terpenuhi, maka BPD harus turun menjadi BPR atau merger dengan BPD lain," jelasnya, Rabu (10/01).
Jika batas waktu tersebut tidak terpenuhi, maka Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut harus turun status menjadi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) atau melakukan merger dengan BPD lain.
Kepala OJK Kalsel, Darmansyah, menjelaskan bahwa pemenuhan modal inti oleh Bank Kalsel menjadi sinyal positif untuk perkembangan bank tersebut.
Jika Bank Kalsel berhasil memenuhi modal inti sebesar Rp 3 triliun, maka bank tersebut dapat tetap berstatus bank umum bahkan berpotensi berkembang menjadi bank devisa.
"Insya Allah di moment ulang tahun Bank Kalsel di Bulan Maret 2024 kami bisa memenuhi Modal inti Rp3 T yang diminta OJK," pungkasnya.
Bprnews.id - Mantan Direktur Utama (Dirut) Bank Jambi, Yunsak El Halcon, divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Pengadilan Tipikor Jambi.
Selain itu, dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp7,5 miliar. Putusan ini terkait kasus korupsi pembelian surat hutang jangka menengah (MTN) kepada PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (PT SNP) untuk investasi Bank Jambi, yang merugikan negara sebesar Rp310 miliar.
Meskipun vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, tetapi tetap mengakui bahwa perbuatan Yunsak El Halcon telah terbukti bersalah.
Amar putusan hakim menjatuhkan pidana penjara 10 tahun, denda Rp500 juta, dan uang pengganti Rp7,5 miliar atau pidana penjara enam tahun.
Dalam kasus yang sama, Penjabat Sementara (Pjs) Direktur Utama PT MNC Sekuritas, Andri Irvandi, yang merupakan salah satu dari tiga terdakwa kasus korupsi gagal bayar surat hutang Medium Term Notes (MTN) di Bank Jambi, divonis 13 tahun penjara, denda Rp800 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp5,8 miliar.
Putusan ini juga merupakan bagian dari upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait gagal bayar di Bank Jambi.
Bprnews.id - Pasca sorotan dari Presiden Joko Widodo terkait penempatan dana perbankan dalam surat berharga, terutama Surat Berharga Negara (SBN), sektor perbankan mulai mengalami penurunan kepemilikan dalam SBN.
Fokus utama saat ini adalah menyalurkan dana untuk kredit, mengingat likuiditas yang ketat. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penurunan kepemilikan perbankan di SBN sebesar 1,51% secara tahunan, menjadi Rp 1.436 triliun pada November 2023.
“Ini kontribusi sektor perbankan dalam pembiayaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, awal pekan ini.
Direktur Treasury & Capital Market CIMB Niaga John Simon mengungkapkan bahwa saat ini penempatan dana, baik itu obligasi korporasi maupun SBN, akan dilakukan sesuai dengan kondisi yang terjadi di pasar.
Hingga November 2023, CIMB Niaga juga tercatat mengalami penyusutan untuk penempatan dana di surat berharga. Adapun, penyusutannya sekitar 7,5% secara tahunan hingga menjadi Rp 60,7 triliun.
Sebaliknya, penyaluran kredit CIMB Niaga telah mengalami kenaikan tipis sekitar 1,5% secara tahunan per November 2023. Pada periode tersebut, kredit yang disalurkan bank milik investor asal Malaysia ini senilai Rp 145,7 triliun.
“Kami memperkirakan pertumbuhan pinjaman yang akan tetap lebih tinggi di masa depan,” ujarnya.
Ia bilang jika memang bank melihat ada kesempatan untuk masuk SBN atau obligasi korporasi, maka pihaknya akan masuk. Dalam hal ini, tentu juga memperhatikan imbal hasil yang ditawarkan.
“Funding engine kita cukup kuat untuk mendapatkan DPK yang kita butuhkan. Dan kalau sampai dibutuhkan, SBN bisa di-repo,” ujar John.
Penempatan dana perbankan dalam obligasi korporasi, khususnya yang bukan berasal dari sektor perbankan, masih mengalami kenaikan sekitar 16,45% secara tahunan menjadi Rp 269,64 triliun pada bulan yang sama.
OJK menyatakan bahwa kontribusi sektor perbankan dalam pembiayaan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Beberapa bank seperti CIMB Niaga dan BTN telah melaporkan penurunan penempatan dana dalam surat berharga. Meskipun demikian, bank-bank tersebut menyatakan bahwa penempatan dana akan dilakukan sesuai dengan kondisi pasar.
CIMB Niaga mencatat penurunan sekitar 7,5% secara tahunan dalam penempatan dana di surat berharga menjadi Rp 60,7 triliun pada November 2023, sementara BTN mencatat penurunan dari Rp 54,93 triliun menjadi Rp 37,95 triliun pada periode yang sama.
“Perubahan komposisi investasi akan dilakukan bank mengikuti arah dan kondisi market yang dapat berkontribusi positif bagi profitabilitas bank,” ujarnya.
Dalam hal ini, Sindhu menyampaikan hingga saat ini pihaknya masih wait and see terkait dengan prospek pemangkasan suku bunga acuan baik dari The Fed dan Bank Indonesia yang akan berdampak pada harga instrumen obligasi di pasar.
“Secara umum kami cukup optimis dan memandang akan ada pemangkasan suku bunga pada tahun ini walaupun belum akan terjadi pada awal tahun ini,” ujar Sindhu.
Bank-bank tersebut menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah pada penyaluran kredit, dan penempatan dana dalam surat berharga akan dilakukan jika ada kesempatan dan memperhatikan imbal hasil yang ditawarkan.
Dalam kondisi di mana suku bunga acuan cenderung mengalami pemangkasan, bank-bank masih menunggu dan melihat perkembangan pasar untuk menentukan kebijakan investasinya.