Standard Post with Image
REGULATOR

Kepala Eksekutif OJK: Perlambatan DPK Terpengaruh Penggunaan Dana Internal Korporasi

BPRNews.id - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh penggunaan dana internal atau simpanan korporasi untuk ekspansi usaha.

"OJK melihat perlambatan DPK yang terjadi khususnya pada tahun lalu disebabkan beberapa faktor di antaranya high based effect pertumbuhan DPK pada akhir 2022, utamanya karena terdapat peningkatan dana yang tinggi dari korporasi," kata Dian di Jakarta, Kamis.

Menurutnya, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, perlambatan DPK saat ini justru disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan DPK dengan nominal lebih dari Rp5 miliar, menunjukkan adanya preferensi penggunaan dana internal korporasi untuk kebutuhan operasional dan ekspansi perusahaan.

Perlambatan DPK juga dipengaruhi oleh penggunaan dana atau simpanan untuk konsumsi masyarakat yang kembali meningkat pascapandemi COVID-19, serta dampak dari perpindahan dana dari instrumen perbankan (DPK) ke alternatif investasi lainnya.

Dian menambahkan bahwa pada posisi Februari 2024, DPK tumbuh 5,66 persen secara year on year (yoy) meskipun melambat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 8,18 persen (yoy).

Pertumbuhan DPK ditopang oleh kenaikan Kredit Berisiko Moderat (KBMI) 4 yang tumbuh 7,88 persen (yoy) serta KBMI 1 yang tumbuh 4,85 persen (yoy).

Berdasarkan jenis DPK, pertumbuhan DPK didorong oleh deposito yang tumbuh meningkat yaitu 5,35 persen (yoy) serta giro yang tumbuh 7,33 persen (yoy).

Dian menyatakan bahwa pertumbuhan DPK pada 2024 diperkirakan meningkat pada kisaran 7-9 persen meskipun masih di bawah pertumbuhan kredit.

Meskipun demikian, kondisi likuiditas bank saat ini masih cukup baik untuk mendukung penyaluran kredit, dengan rasio likuiditas seperti Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 84,05 persen dan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,41 persen, menunjukkan kesiapan dalam mengantisipasi penarikan dana.

Standard Post with Image
REGULATOR

OJK: 32 Perusahaan Asuransi Akan Lakukan Spin-off Unit Usaha Syariah

BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa sebanyak 32 perusahaan asuransi dan reasuransi berencana untuk melakukan spin-off atau pemisahan unit usaha syariah (UUS) guna meningkatkan kapasitas ekuitasnya.

"Dari proses konsolidasi untuk pendirian perusahaan asuransi syariah, sebanyak 32 perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah menyatakan akan melakukan spin-off dengan mendirikan perusahaan asuransi syariah baru," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, di Jakarta, Rabu.

Langkah ini diambil dalam konteks persiapan yang disampaikan melalui Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS), yang masih berlangsung dan terus dipantau oleh OJK.

Beberapa perusahaan lainnya juga berencana untuk mengalihkan portofolio syariahnya kepada perusahaan asuransi syariah yang sudah ada, sementara beberapa lagi masih dalam proses mencari perusahaan asuransi syariah yang akan menerima pengalihan, yang juga sedang dipantau oleh OJK.

OJK menegaskan bahwa fokus awal dalam implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terbaru yang mengatur tentang peningkatan permodalan bagi perusahaan asuransi dan reasuransi adalah memastikan bahwa seluruh perusahaan asuransi dan reasuransi dapat memenuhi ketentuan ekuitas minimum pada tahap I di Desember 2026.

Ekuitas minimum tersebut dapat dipenuhi melalui penambahan modal dari pemegang saham, pertumbuhan organik perusahaan, atau melalui konsolidasi perusahaan.

OJK menetapkan ekuitas minimum sebesar Rp100 miliar bagi unit syariah perusahaan asuransi dan Rp200 miliar bagi unit syariah perusahaan reasuransi, sebagai upaya untuk memastikan keberlangsungan dan stabilitas industri asuransi syariah di Indonesia.

Standard Post with Image
REGULATOR

OJK Sedang Menyusun RPOJK Fintech P2P Lending tentang Batas Atas Pendanaan Produktif

BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) untuk layanan fintech peer to peer (P2P) lending atau Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) terkait batas atas pendanaan produktif. Hal ini merupakan amanat dari Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

"Saat ini OJK sedang menyusun RPOJK LPBBTI yang merupakan amanat dari Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman, di Jakarta, Rabu.

Agusman menjelaskan bahwa salah satu aspek yang sedang dipertimbangkan adalah kenaikan batas atas pendanaan produktif, yang saat ini dapat dilakukan hingga Rp2 miliar. Rencana ini sedang dalam kajian, dimana LPBBTI yang memiliki TWP90 maksimal 5 persen dalam enam bulan terakhir, dan tidak sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dari OJK, dapat memperoleh batas atas yang lebih tinggi.

TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang tertera dalam perjanjian pendanaan di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.

Sementara itu, OJK juga sedang mengkaji opsi pencabutan moratorium pemberian izin usaha penyelenggara LPBBTI khusus sektor produktif dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pertimbangan ini mencakup kebutuhan masyarakat terhadap layanan LPBBTI, potensi pertumbuhan penyelenggara LPBBTI eksisting, serta persaingan usaha yang sehat dan tidak melanggar hukum.

Dalam konteks fintech P2P lending, pertumbuhan outstanding pembiayaan pada Februari 2024 terus meningkat, mencapai 21,98 persen secara year on year (yoy), dengan nilai mencapai Rp61,10 triliun. Tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) tetap terjaga di posisi 2,95 persen.

Standard Post with Image
REGULATOR

OJK Pemanggil PT Commerce Finance Terkait Pengaduan Penagihan SPaylater

BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah beberapa kali memanggil PT Commerce Finance, yang dikenal sebagai penyedia layanan paylater SPaylater terafiliasi dengan e-commerce Shopee, menyusul banyaknya pengaduan masyarakat terkait penagihan yang dilakukan layanan tersebut. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menekankan perlunya perkuatan mekanisme internal dispute resolution dan penelitian akar masalah dari sisi internal maupun eksternal perusahaan terkait banyaknya pengaduan yang diterima.

"Kami meminta PT Commerce Finance memperkuat mekanisme internal dispute resolution dan meneliti akar masalah dari sisi internal maupun eksternal perusahaan terkait banyaknya pengaduan yang diterima OJK, termasuk kelemahan atas proses bisnis yang ada," ungkap Agusman dalam keterangan resmi pada Kamis (4/4/2024).

Agusman menambahkan bahwa proses bisnis ini mencakup aspek penagihan pinjaman, kehati-hatian dalam penyaluran kredit, dan seleksi calon debitur. Dia juga menyoroti perlunya kepatuhan terhadap regulasi yang jelas, terutama terkait tindakan penagihan yang tidak boleh menggunakan kata kasar, mengancam, atau mengganggu konsumen di luar jam yang ditentukan.

Seabank, yang terafiliasi dengan SPaylater, melaporkan pertumbuhan kredit sebesar 12,55 persen menjadi Rp 17,88 triliun pada tahun 2023, dengan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) naik 53 persen menjadi Rp 5,78 triliun.

Selama tahun 2023, OJK menerima total 406 pengaduan dari konsumen terkait layanan PT Commerce Finance atau SPaylater, dengan 88 pengaduan terkait perilaku petugas penagihan. Rata-rata, terdapat tujuh pengaduan terkait perilaku petugas penagihan SPaylater setiap bulan. Pada Januari 2024, tercatat enam pengaduan terkait hal serupa.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan beberapa pokok permasalahan yang sering diadukan, termasuk penagihan dengan kata-kata kasar, intimidasi, dan penagihan diluar jam yang ditentukan.

"Regulasi sudah jelas, tindakan penagihan tidak boleh melanggar aturan, termasuk tidak menggunakan kata kasar, tidak mengancam, dan hanya dilakukan pada waktu yang ditentukan," tegas Friderica.

Standard Post with Image
BPR

Perumda BPR Bank Salatiga Ganti Kerugian Nasabah Rp 10,2 Miliar Akibat Kasus Korupsi

BPRNews.id - Perumda BPR Bank Salatiga kembali mengganti kerugian empat nasabah senilai Rp 10,2 miliar, setelah sebelumnya telah membayarkan Rp 7,7 miliar. Penggantian ini dilakukan menyusul putusan hukum tetap berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 2728 K/PDT/2023 tanggal 30 Oktober 2023.

"Dalam upaya untuk taat hukum, kami melakukan penggantian tersebut sesuai dengan regulasi dan kemampuan keuangan Bank Salatiga," ungkap Direktur Utama Perumda BPR Bank Salatiga, Darto Supriyadi, dalam pernyataan resmi pada Kamis (4/4/2024).

Darto menjelaskan bahwa penggantian sejumlah Rp 10,2 miliar ini sudah disepakati dalam empat tahap, dengan tahap pertama sebesar Rp 2,5 miliar dibayarkan pada awal Januari 2024 setelah mendapat persetujuan Dewan Pengawas Bank Salatiga. Sementara itu, penggantian sisanya, sebesar Rp 204 juta, akan dilakukan selama tiga bulan mulai Februari 2024.

Meskipun demikian, satu nasabah dengan kerugian sekitar Rp 722 juta masih dalam proses persidangan dan belum mencapai inkrah. Namun, begitu inkrah, pihak bank akan segera menyelesaikan proses penggantian dengan baik, sebagaimana proses penggantian sebelumnya.

Kerugian yang dialami nasabah tersebut disebabkan oleh tindakan oknum pegawai lama yang tidak bertanggung jawab, yang diduga telah melakukan korupsi dengan modus penyimpangan dana nasabah sejak tahun 2008 hingga 2018.

"Komitmen kami jelas, untuk selalu memenuhi hak nasabah dengan baik. Oleh karena itu, kami melakukan penggantian sesuai dengan regulasi dan kemampuan bank," tegas Darto.

Perumda BPR Bank Salatiga menghadapi tuntutan nasabah senilai Rp 18,9 miliar akibat kasus korupsi ini, yang diperkirakan telah menyebabkan kerugian bank mencapai Rp 31 miliar.

Kasus korupsi ini merupakan bayang-bayang masa lalu manajemen lama Perumda BPR Bank Salatiga yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang diputuskan di pengadilan. Ini menjadi tantangan serius bagi bank dalam memulihkan kepercayaan masyarakat serta menjaga integritas dan transparansi di masa mendatang.

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News