Standard Post with Image
BPR

OJK Pastikan Kinerja BPR di Sulawesi Selatan Aman di Tengah Maraknya Bank Bangkrut

Bprnews.id - Menyikapi banyaknya Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Indonesia yang bangkrut hingga izin usahanya dicabut pada tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan kondisi serupa tidak akan terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam waktu dekat.

Kepala OJK Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar), Darwisman, mengatakan bahwa kinerja keuangan semua BPR di Sulsel setidaknya hingga kuartal I/2024 masih aman.

"Belum ada yang mengarah ke kondisi bangkrut sehingga potensi pencabutan izin pun juga masih nihil. Berdasarkan pemantauan kinerja keuangan hingga kuartal I/2024 terhadap BPR di wilayah Sulsel, kami melihat tidak terdapat yang berpotensi akan dicabut izin usahanya," ujar Darwisman ketika dihubungi, Selasa (14/5/2024).

Dia menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan OJK melakukan penutupan bank atau mencabut izinnya, antara lain jika perusahaan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha dan tidak dapat disehatkan kembali.

"Kondisi ini akan membuat kami menetapkan bank yang bersangkutan dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan kepada LPS. Apabila LPS menetapkan untuk tidak melakukan penyelamatan, maka OJK akan melakukan pencabutan izin usahanya," jelasnya.

Lebih lanjut, kriteria penetapan BPR dalam resolusi tercantum dalam POJK Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS. Indikator penilaian utama adalah rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dan Cash Ratio.

Sebagai informasi, sebaran jaringan kantor industri jasa keuangan di wilayah Sulawesi dan Maluku Papua (Sulampua) saat ini mencakup 2.346 kantor bank umum dan 84 kantor BPR/BPRS.

Diketahui sepanjang 2024 sudah ada 11 BPR bangkrut di Indonesia yang izin usahanya telah dicabut oleh OJK. BPR yang bangkrut baru-baru ini adalah PT BPR Dananta dari Kudus, yang dicabut izin usahanya oleh OJK mengacu Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-38/D.03/2024 tanggal 30 April 2024 tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Dananta.

 

Standard Post with Image
BPR

LPS Percepat Proses Pembayaran Klaim BPR yang Dilikuidasi Hingga 5 Hari Kerja

Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus melakukan inovasi untuk menjaga kepercayaan nasabah perbankan. Salah satu terobosan terbarunya adalah pembayaran klaim bank yang dicabut izin usahanya, yang kini bisa diselesaikan dalam waktu 5 hari kerja.

"Inovasi terus dilakukan oleh LPS dalam menangani bank yang gagal dalam tata kelola agar nasabah tidak khawatir. Dalam rangka memberikan rasa tenang kepada masyarakat, khususnya nasabah BPR yang dilikuidasi, tim LPS bergerak cepat di mana secara rata-rata pembayaran klaim sudah mulai dilakukan 5 hari kerja sejak bank dicabut izin usahanya oleh OJK," ujar Didik Madiyono, Anggota Dewan Komisioner LPS Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank, dalam acara Temu Media di Solo, Minggu (12/5/2024).

Berdasarkan data LPS, waktu pembayaran klaim dari tahun ke tahun telah menunjukkan tren yang positif. Pada tahun-tahun sebelumnya, waktu pembayaran klaim mencapai antara 9 hingga 14 hari kerja. Dengan terobosan baru yang dilakukan oleh LPS, pembayaran klaim kini bisa lebih cepat, menjadi hanya 5 hari kerja.

Selain terobosan dalam percepatan pembayaran klaim simpanan nasabah, LPS juga melakukan early intervention dalam penanganan bank. Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK), LPS dapat lebih proaktif dalam menangani bank sebelum kondisi bank tersebut memburuk.

Melalui undang-undang ini, fungsi LPS sebagai otoritas resolusi bank meningkat dari sekadar paybox dan loss minimizer menjadi risk minimizer, dengan kewenangan yang mencakup fungsi surveilance dan early intervention.

Didik menjelaskan bahwa LPS memiliki berbagai opsi untuk menangani bank sebelum bank tersebut dicabut izin usahanya kemudian dilikuidasi. Opsi tersebut termasuk melakukan penjualan bank atau aset-asetnya kepada investor yang berminat.

"Hal ini telah kami praktikkan dalam penanganan beberapa BPR yang tengah ditangani LPS atau berstatus Bank Dalam Resolusi (BDR), misalnya dengan melakukan investor gathering untuk menawarkan aset-aset bank," kata Didik.

Ia mengakui bahwa perubahan ini merupakan tantangan untuk meningkatkan kapasitas pegawai LPS yang harus memiliki kemampuan pemasaran dalam rangka penjualan bank atau aset-aset bank. "Tentunya hal ini kami lakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik," tambahnya.

Update Pembayaran Klaim Simpanan Nasabah BPR yang Dicabut Izin Usahanya

Dalam pertemuan dengan puluhan jurnalis dari wilayah Jogja, Solo, Semarang (Joglosemar), Didik juga memaparkan data terkait pembayaran klaim simpanan nasabah BPR yang dicabut izin usahanya periode Januari – April 2024. Berdasarkan data per 8 Mei 2024, LPS telah membayarkan klaim simpanan nasabah sebesar Rp291 miliar kepada lebih dari 48.000 rekening nasabah bank yang dilikuidasi.

Pembayaran klaim simpanan nasabah tersebut masih terus dilakukan kepada para nasabah dari 11 BPR yang dilikuidasi LPS dalam kurun waktu 1 Januari hingga 30 April 2024.

Ketika ditanya mengenai kemampuan keuangan LPS untuk membayar klaim simpanan milik nasabah BPR-BPR tersebut, Didik menjelaskan bahwa keuangan LPS sangat memadai. Aset LPS sampai dengan akhir Triwulan I telah mencapai Rp225 triliun, yang diperkirakan akan terus bertambah hingga akhir tahun ini.

Sinergi LPS dan Industri BPR

LPS juga terus melakukan berbagai langkah preventif bersama asosiasi BPR/BPRS, dalam hal ini Perbarindo, untuk meningkatkan tata kelola BPR melalui berbagai diskusi dan workshop sehingga penutupan atau pencabutan izin usaha BPR ini tidak mesti terjadi. Sebagaimana diketahui, mayoritas BPR ditutup karena persoalan minimnya tata kelola.

"Jumlah BPR saat ini ada lebih dari 1.500. Jadi masih banyak BPR yang sehat dan bagus. Bukan berarti maraknya penutupan BPR membuat nama BPR rusak secara keseluruhan. Banyak sekali BPR yang memiliki peran dalam membantu perekonomian masyarakat di berbagai wilayah dengan beragam inovasi produk yang menarik. Dan bagi nasabah tidak perlu khawatir karena semua bank di Indonesia merupakan peserta penjaminan LPS. Jika ada bank dicabut izin usahanya, LPS akan menjamin simpanan nasabah," kata Didik.

 

Standard Post with Image
bank umum

OJK Dorong Konsolidasi BPR/BPRS: 43 Telah Dimerger, 25 Menyusul, 32 Siap Siap

Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sejumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) telah melakukan merger atau penggabungan. Hingga akhir Maret 2024, 43 BPR/BPRS telah dimerger menjadi 14 entitas baru, dengan 25 BPR/BPRS sedang dalam proses merger, dan 32 lainnya bersiap untuk konsolidasi.

"Konsolidasi ini dilakukan untuk memperkuat ketahanan permodalan bank," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) April 2024 secara virtual di Jakarta, Senin (13/5/2024).

Per Maret 2024, jumlah BPR/BPRS tercatat menjadi 1.566, turun signifikan dari 1.623 pada Desember 2021. Konsolidasi ini diharapkan dapat memperkuat permodalan dan meningkatkan kinerja bank.

"Data statistik menunjukkan pertumbuhan aset, kredit, dan DPK terus positif, dengan pertumbuhan kredit 9,42 persen, DPK 8,60 persen, dan aset 7,34 persen," kata Dian.

Selain penguatan modal, OJK juga menekankan pentingnya tata kelola dan manajemen risiko yang baik di BPR/BPRS untuk memberikan nilai tambah bagi UMKM, masyarakat, dan perekonomian.

Namun, Dian mengakui masih banyak BPR/BPRS yang belum memenuhi ketentuan modal minimum. OJK mendorong penambahan modal oleh pemegang saham atau merger sukarela antar-BPR/BPRS.

"Konsolidasi bukan berarti mengurangi jumlah kantor. Kantor-kantor BPR/S tetap ada sebagai cabang setelah penggabungan," jelas Dian.

Ke depan, OJK akan menerapkan kebijakan single presence policy, di mana satu pemilik hanya boleh memiliki satu BPR, bukan beberapa.

Terkait penutupan BPR/BPRS, Dian menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil karena BPR/BPRS yang bersangkutan tidak mungkin diselamatkan lagi, baik karena fraud atau kelemahan keuangan yang signifikan.

OJK terus memperkuat industri BPR/BPRS melalui konsolidasi, penyesuaian regulasi, dan pengawasan, serta akan meluncurkan Peta Jalan (Roadmap) Penguatan BPR/S 2024-2027 untuk menjawab tantangan industri ini.

 

Standard Post with Image
REGULATOR

OJK Jatuhkan 125 Sanksi Administratif di Sektor PPDP pada April 2024

Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan 125 sanksi administratif kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) pada April 2024. Pemberian sanksi ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi konsumen di sektor tersebut.

"Pada April 2024, Bidang Pengawasan PPDP telah memberikan 125 sanksi administratif kepada LJK di sektor PPDP," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, dalam konferensi pers RDK OJK, Senin (13/5).

Dari 125 sanksi tersebut, 104 di antaranya berupa sanksi peringatan atau teguran, sementara 21 lainnya adalah sanksi denda yang dapat diikuti dengan peringatan atau teguran.

Selain memberikan sanksi, OJK juga terus mendorong penyelesaian masalah di LJK sektor PPDP. "OJK melakukan pengawasan khusus terhadap 7 perusahaan asuransi untuk membantu mereka memperbaiki kondisi keuangan demi kepentingan pemegang polis," kata Ogi.

Selain itu, pengawasan khusus juga dilakukan terhadap beberapa perusahaan dana pensiun untuk memastikan kepatuhan dan kestabilan keuangan.

Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen OJK dalam menjaga integritas dan stabilitas sektor PPDP, sekaligus melindungi kepentingan konsumen dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.

 

Standard Post with Image
REGULATOR

Investree di Bawah Pengawasan Ketat OJK Akibat Kekurangan Modal dan Dugaan Fraud

Bprnews.id - Perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending PT Investree Radhika Jaya atau Investree saat ini menghadapi pengawasan ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp250 miliar. Selain itu, OJK sedang mendalami dugaan fraud di perusahaan tersebut.

"Saat ini Investree masih belum dapat memenuhi ketentuan ekuitas minimum," ujar Kepala Eksekutif Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, dalam jawaban tertulis yang dikutip pada Rabu (15/5/2024).

Agusman menegaskan bahwa OJK akan terus memonitor perkembangan dan langkah-langkah penyelesaian yang diambil oleh Investree. "Pemegang saham dan manajemen berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran Investree sebelum jatuh tempo sanksi," tambahnya.

Selain masalah modal, OJK juga sedang menyelidiki dugaan fraud di Investree dan akan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

Laporan keuangan terakhir di laman resmi Investree menunjukkan total ekuitas sebesar Rp48,81 miliar, dengan liabilitas mencapai Rp101,21 miliar. Aset perusahaan per 31 Desember 2022 tercatat sebesar Rp148,03 miliar, yang terdiri dari aset lancar dan tidak lancar masing-masing sebesar Rp101,75 miliar dan Rp46,27 miliar.

Sebelumnya, OJK mewajibkan industri fintech lending untuk memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar, yang berlaku mulai 4 Juli 2023. Investree, dalam hal ini, masih jauh dari memenuhi persyaratan tersebut.

 

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News