Bprnews.id - Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan tindakan tegas dengan mencabut izin operasional dari tiga BPR. Keputusan ini diambil setelah ditemukan adanya ketidakpatuhan dalam tata kelola bisnis yang berujung pada praktik kecurangan atau fraud.
Pencabutan izin dilakukan terhadap BPR Wijaya Kusuma di Madiun, Jawa Timur, BPR Usaha Madani Karya Mulia di Kota Surakarta, Jawa Tengah, dan BPR Syariah Mojo Artho di Kota Mojokerto. Kepala OJK, dalam pernyataannya, menjelaskan bahwa tindakan ini diambil setelah sejumlah pelanggaran dalam tata kelola bisnis kedua BPR tersebut terungkap.
"Pencabutan ini dilakukan karena tata kelola bisnis kedua BPR tersebut tidak memadai, yang akhirnya menimbulkan kecurangan," ujar seorang pejabat OJK dalam konferensi pers.
Pencabutan izin usaha tersebut menurut ketentuan yang ditetapkan oleh OJK disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk masalah permodalan dan likuiditas yang tidak dapat diatasi oleh kedua BPR. Sebagai contoh, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh BPR adalah memiliki modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar, namun beberapa dari mereka gagal memenuhi ketentuan ini.
Langkah pencabutan izin usaha oleh OJK juga disusul dengan proses penyelesaian hak dan kewajiban koperasi oleh tim likuidasi dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Meskipun demikian, Sekretaris LPS, Dimas Yuliharto, menegaskan bahwa kondisi perbankan dan perkonomian Indonesia secara keseluruhan masih dalam kondisi baik.
Namun, penutupan BPR bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, telah terjadi penurunan jumlah BPR di Tanah Air. Data dari OJK menunjukkan bahwa pada November 2023, jumlah BPR di Indonesia menyusut sekitar 37 unit dari sebelumnya 1.442 pada tahun 2022.
Meskipun demikian, penyaluran kredit oleh BPR masih terus meningkat. Hingga November 2023, penyaluran kredit BPR mencapai Rp140,18 triliun, meskipun diimbangi dengan peningkatan tingkat kredit bermasalah atau NPL hingga 10,52 persen.
Di tengah kondisi ini, OJK telah mengambil langkah-langkah preventif dan penyelamatan dengan mengeluarkan aturan-aturan baru untuk memperbaiki tata kelola dan manajemen risiko di BPR. Salah satunya adalah POJK Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS, serta POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif BPR.
Kecurangan dalam tata kelola BPR bukan hanya merugikan perusahaan itu sendiri, tetapi juga dapat mengancam stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan dan berdampak pada perekonomian lokal. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan tata kelola dan pengawasan di BPR menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan guna menjaga stabilitas sektor keuangan di Indonesia.